Social Icons

Pages

Sabtu, 02 April 2011

Kejahatan Calon-Calon Da’i

Pernah mendengar istilah “kode etik”?. Kode etik (atau yang dalam bahasa arab dikenal dengan “adab”) merupakan norma dan asas yg diterima oleh kelompok tertentu sbg landasan tingkah laku. Contohnya dalam dunia kesehatan, dikenal istilah kode etik kedokteran, yaitu norma dan asas yg berlaku bagi para dokter sbg landasan dalam menjalankan profesinya. Dalam dunia pers juga dikenal istilah kode etik jurnalistik, yaitu aturan tata susila kewartawanan yg mengatur sikap, tingkah laku, dan tata krama jurnalisasi.


Dalam dunia profesionalitas, salah satu penyebab seseorang dikatakan sebagai penjahat adalah ketika dia melakukan tindakan yang melenceng dari kode etik dan merugikan orang lain. Contohnya, seorang dokter yang melakukan praktek asal-asalan (mal praktek) disebut sebagai “penjahat kesehatan”, karena dia telah melanggar kode etik dunia kedokteran. Seorang wartawan yang menyiarkan berita bohong disebut sebagai “penjahat pers”, kerena dia telah melanggar kode etik dunia jurnalistik. Alhasil, penyematan predikat “penjahat” tidak terbatas pada maling ayam, pencuri jemuran, koruptor, berandal jalanan, atau yang serumpun dengan mereka, tapi lebih luas lagi.

Sebagaimana bidang-bidang profesionalitas lainnya, dunia pendidikan – terlebih lagi pendidikan tinggi (kemahasiswaan) – juga memiliki kode etik pendidikan. Salah satu kode etik (adab) yang menjadi konsensus (kesepakatan) tak tertulis bagi seluruh metode pendidikan , baik klasik maupun modern, keislaman maupun non islam, adalah; untuk mencapai kematangan intelektual, setiap peserta didik harus gemar membaca.

Semua orang, baik muslim maupun non muslim, baik yang jenius maupun bodoh, sependapat bahwa membaca merupakan pintu ilmu yang pertama dan utama. Sejenius apapun insan, tidak mungkin mencapai tingkat kematangan intelektual tanpa memiliki kegemaran membaca.

Mahasiswa yang sedang meniti tahapan menuju intelektualitas (atau bahasa mudahnya “tholabul ilmi”) tapi malas membaca, berarti dia telah melanggar kode etik ini. Oleh sebab itu, pantas kalau diberi predikat “penjahat intelektual”, sebagaimana orang lain yang melanggar kode etik profesionalitas.

Berlebihan? Terlalu mengada-ada? Menurut saya tidak… coba perhatikan alasan-alasan berikut…

Pertama, dengan menyandang gelar mahasiswa (tholibul ilmi) berarti dia telah menisbahkan diri kepada dunia intelektual, dunia keilmuan, sebuah dunia yang identik dengan proses pencapaian kemapanan ilmiah, kemampuan menganalisa, dan kearifan dalam memberikan solusi. Kalau membaca saja malas, dari mana bisa mencapai semua itu.

Hal ini merupakan pelanggaran berat terhadap prosedur pencapaian kematangan intelektualitas. Mirip dengan seorang wartawan yang mengaku memperoleh berita dengan cara wawancara, padahal dia tidak mewawancarai siapapun. Dia telah melanggar prosedur resmi jurnalistik dalam memperoleh berita.

Kedua, gelar kesarjanaan semacam Lc, BA, dan lain-lain merupakan pengakuan resmi dihadapan khalayak ramai bahwa dia telah berhasil menempuh proses pencapaian kematangan intelektual. Kalau kenyataannya dia malas membaca, maka gelar-gelar tersebut tak lebih dari icon-icon imitasi belaka, alias ASPAL (Asli tapi Palsu). Sebab, orang yang malas membaca sudah pasti tidak akan pernah mencapai kematangan intelektual. Secara tidak langsung, dia telah melakukan kebohongan publik.

Ketiga, kelak dikemudian hari, orang-orang semacam ini akan sangat rentan terjerumus dalam “mal fatwa” (berfatwa asal-asalan tanpa ilmu). Saat terjun di masyarakat nanti, mau tidak mau orang akan menganggap mereka mapan dalam bidangnya. Oleh karena itu, dia akan dimintai fatwa atau pendapat untuk mencari solusi bagi setiap problem yang ada hubungannya dengan kemampuan akademiknya.

Pada saat dia dihadapkan dengan problem yang tidak mereka pahami, padahal itu merupakan bagian dari bidang akademiknya, dia akan malu untuk mengatakan tidak tahu. Jadi, untuk menjaga wibawanya dihadapan masyarakat ada cara;

Cara yang pertama, dia akan memberikan mengalihkan topik pembicaraan alias ngoceh ngalor-ngidul tanpa memberikan solusi, dan bahkan terkadang memberikan statement yang aneh-aneh, itu dilakukan agar orang menyangka bahwa wawasannya luas. Cara kedua, dia akan berfatwa asa-asalan (mal fatwa), supaya mukanya tidak jatuh dihadapan orang lain. Ini jelas merugikan masyarakat yang tertipu dengan gelar kesarjanaannya.

Keempat, dengan gelar yang dia peroleh, dia bisa mendaftar di lembaga pendidikan manapun. Celakanya, di dunia pendidikan nantinya sarjana-sarjana semacam ini hanya akan menurunkan grafik kualitas intelektual peserta didik. Yang namanya pohon pisang hanya akan melahirkan tunas pisang, tidak mungkin melahirkan tunas kelapa. Begitu pula tenaga pendidik, mereka yang berkapasitas keilmuan rendah hanya akan melahirkan peserta didik dengan kualitas rendah pula. Dalam hal ini setidaknya ada tiga pihak yang dirugikan; peserta didik itu sendiri, wali murid yang telah mempercayakan anaknya untuk dididik, dan lembaga pendidikan yang tertipu dengan gelar kesarjanaannya.

Kelima, adanya potensi pembunuhan karakter terhadap penyeru kebenaran saat terjadi perselisihan. Contohnya, saat terjadi perbedaan pendapat antara seorang ustadz bergelar Lc dengan tamatan pondok pesantren biasa. Si ustadz ketika kuliah dahulu terjangkiti penyakit malas membaca, sehingga kemampuan ilmiah dan analisanya sangatlah minim, oleh karena itu dia mengambil pendapat yang marjuh (lemah). Sedangkan tamatan pondok ini rajin membaca, sehingga memiliki kekuatan ilmiah dan analisa melebihi si ustadz Lc tadi, oleh karena itu dia memilih pendapat yang rojih (kuat).

Nah, pada saat publik menghadapi kontroversi semacam inilah gelar pendidikan memainkan peran. Mayoritas masyarakat awam pasti akan segera mengikuti si ustadz Lc tadi, karena tertipu dengan huruf “L” dan huruf “c” yang tersemat indah di belakang namanya.

Keenam, menimbulkan kekecewaan masyarakat. Masyarakat menaruh harapan besar kepada para mahasiswa (tholibul ilmi). Mereka yang telah melampaui proses pematangan intelektual, seharusnya bisa berbuat banyak. Namun, akibat malas membaca, dia tidak memiliki banyak perbendaharaan ilmu yang bisa ia persembahkan. Sebagaimana pepatah Arab “فاقد الشيئ لا يعطي ”, yang maknanya; “orang yang tidak memiliki apa-apa tidak mungkin bisa memberi”. Gelar seindah apapun tidak akan berguna tanpa diimbangi kualitas ilmu.

Ketujuh, lemahnya imunitas intelektual dalam menangkal syubhat. Hal ini sebagai dampak dari lemahnya kemapanan ilmiah akibat serangan “penyakit” malas membaca. Yang lebih mengerikan lagi, apabila syubhat ini menjangkiti masyarakat luas, sang sarjana yang diharapkan menjadi garda terdepan, tidak mampu berbuat apa.

Kalaupun harus menangkal syubhat, dia menangkal dengan menonjolkan emosi seperti orang-orang awam, bukan kekuatan ilmiah layaknya orang berilmu. Padahal, seharusnya yang membedakan orang bergelar sarjana dengan orang awam adalah kekuatan otak, bukan otot.

Nah, dengan alasan-alasan di atas, apa masih tersisa keragauan untuk menganggap “malas membaca” sebagai sebuah “kejahatan intelektual”?

Sebenarnya, kalau kita mengkaji hal ini dalam bingkai syariat islam, kita akan dapati bahwa agama yang hanif ini menempatkan membaca sebagai prioritas pertama dan utama dalam proses persiapan dakwah. Membaca, adalah gerbang pertama yang harus dilalui para agen reformasi massa (atau yang akrab disebut “da’i”) sebelum memulai karirnya. Coba perhatikan, yang pertama kali Allah ta’ala perintahkan saat melantik Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam- sebagai nabi bukanlah sholat, puasa, sedekah, atau haji, tapi “M-E-M-B-A-C-A”. { اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ } (Al’Alaq:1)

Namun entah mengapa, di akhir zaman ini banyak yang calon-calon dai yang kurang bersimpati terhadap buku, atau bahkan ada yang alergi. Sepertinya, daripada membolak-balik lembaran kertas, mereka lebih bangga melakukan olahraga jempol diatas benda-benda mungil bertuliskan Nokia E71, Blackberry, iPhone, PDA atau sebangsanya. Mereka membaca Holy Book (kitab suci) seperti membaca koran, tapi kalau membaca Facebook begitu “khusyu’” seakan mentadaburi ayat Al-quran. Kalau langganan akses internet tak perlu pikir panjang panjang untuk cari hutangan, tapi kalau beli buku harus berpikir berkali-kali. Allahul musta’an.

Sumber: penadakwah.com

0 komentar:

Posting Komentar