Social Icons

Pages

Jumat, 15 April 2011

Diskriminasi Media: Antara Ciketing dan Pembakaran Masjid

SEBUAH pepatah mengatakan “jika Anda ingin menguasai dunia maka kuasai informasi.” Pepatah itu boleh jadi benar. Dewasa ini media massa memiliki fungsi strategis dalam kontrol sosial masyarakat. Tak dipungkiri pula bahwa media massa punya andil besar dalam mempengaruhi kebijakan sang pengampu kebijakan sebuah negwri, termasuk di Indonesia.



Karena pemberitaan media pula, banyak kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat membuat pihak berwenang segera bertindak cepat untuk menyelesaikan persoalan. Di sisi lain, disadari atau tidak, media juga telah menjadi alat untuk mengalihkan perhatian masyarakat atas isu yang mengancam kekuasan.

Media yang baik tentu adalah media yang bersikap objektif, adil, dan tidak diskriminatif terhadap sebuah golongan masyarakat di dalam pemberitaannya. Selain itu media tersebut harus mampu merekontruksi masyarakat dan Negara untuk menuju kebaikan. Dalam konteks keindonesian, untuk menuju Indonesia yang lebih baik dan berkeadilan.

Namun sayang, sulit kita temukan media yang adil (dalam pengertian adil melihat kebenaran/al-haq). Terkadang hal itu belum dapat terpenuhi sepenuhnya oleh media-media umum cetak maupun elektronik di Indonesia saat ini. Khususnya menyangkut permasalahan Islam dan kaum Muslim di negeri ini.

Hatta, media massa besar dan berjuluk nasional pun, kadang juga tak berlaku adil jika menyangkut Islam. Istilah “obyektif” yang sering digunakan para wartawan dan pekerja pers, adalah “obyektif” yang hanya menguntungkan pihaknya. Ujungnya, tetap saja subyektif.

Media-media asing, yang sering dipuji --bahkan menjadi rujukan media nasional—bahkan sering berlaku sangat tidak adil, bila menyangkut Islam. Baru-baru ini, Radio Nederland memuat pandangan aktifis liberal dan penganut feminisme, yang dikenal bukan orang ahli dalam urusan fikih (hukum Islam) dan tidak credible dalam masalah hukum Islam. Namun anehnya, dua orang aktivis feminisme itu sering-sering dikutip dan dijadikan nara sumber untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan hukum Islam. Termasuk hukum aliran sesat atau hukum menggunakan jilbab.

Kasus seperti ini bukan satu-dua kali, media-media asing sudah sering melakukannya. Jika tidak karena ada agenda tersembunyi, mengapa mereka terlalu memaksa meminta komentar-komentar orang-orang yang dikenal tak paham dan tidak ahli masalah hukum Islam?

Di Indonesia telah ribuan pakar bidang syariah dan hukum Islam. Banyak dari mereka lulusan universitas terkenal, dari Madinah, Mesir, Sudah, Libya, Yaman, Malaysia bahkan dari Indonesia sendiri. Tapi mengapa media lebih memilih aktivis liberal yang dikenal bukan ahli fikih? Jawabnya, boleh jadi mereka memiliki agenda tersembunyi (hidden agenda).

Antara Ciketing dan Kasus Medan

September 2010, rakyat Indonesia dikejutkan kasus penganiayaan yang menimpa jemaat HKBP. Jemaat yang tengah berjalan menuju lokasi kebaktian di tanah lapang Desa Ciketing dikabarkan dianiaya oleh sejumlah orang tidak dikenal. Kasus ini dimuat media massa nasional dan menjadi buruan TV.

Beberapa media, langsung mengarahkan ke salah satu ormas Islam. Semua beramai-ramai mengarahkan stigma bahawa “salah satu anggota ormas Islam menusuk pendeta”.

Tak lama, LSM, tokoh masyarakat, ormas, politisi hingga pejabat negara mengeluarkan kecaman dan meminta tindakan tegas. Bahkan dalam waktu tak lama, polisi langsung mencokong salah satu tokoh ormas Islam Bekasi.

Ajaibnya, hasil pengusutan menunjukkan, pelaku bukan anggaota ormas Islam, melainkan seorang pengamen. Apakah media meralat tuduhan yang sebelumnya diarahkan pada salah satu ormas Islam? TIDAK. Apakah kemudian LSM juga mengutuk pengamen? JUGA TIDAK. Stigma sudah diluncurkan dan tak bisa ditarik lagi. Sementara orang-orang sekaliber sutradara Hanung juga percaya stigma seperti itu.

Apa yang terjadi di Medan serta beberapa tempat lain adalah salah contoh dari sekian banyak contoh. Bahwa telah terjadi pembakaran dan pengrusakan terhadap rumah-rumah Allah, namun nyaris tanpa pemberitaan dari media massa. Hal ini bertolak belakang jika kejadian sama menimpa tempat ibadah lain, maka ramai-ramai umat Islam yang akan langsung dikambing hitamkan. Gegap gempita pemberitaannya pun begitu terasa.

Jum'at, 15 April 2011, kemarin, PAHAM (Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia) Indonesia sebagaimana dikutip hidayatullah.com, merilis adaya aksi anarkis terhadap beberapa Masjid di Sumatera. Tindakan anarkis terjadi di beberapa tempat suci umat Islam. Di antaranya;

1. Pembakaran dan pengrusakan Masjid Nur Hikmah di Dusun Lima Desa Aek Loba Kecamatan Aek Kuasan, Kabupaten Asahan.
2. Pembakaran dan pengrusakan Masjid Taqwa di Kelurahan Aek Loba, Kecamatan Aek Kuasan, Kabupaten Asahan.
3. Pembongkaran Masjid Al IKhlas di Jl. Timur No. 23, Kelurahan Perintis, Kecamatan Medan Timur, Kota Medan.
4. Pembakaran rumah, pengrusakan masjid dan penganiayaan massif di Jl. Kp Melayu, Selambo, Dusun Tiga, Desa Amplas, Kecamatan Percutseituan, Kabupaten Deli Serdang, Medan.
5. Pembakarn Masjid Fii Sabilillah di Jl. Lintas Tobasa, Lumban Lowu, Kabupaten Toba Samosir, Toba Samosir.
6. Pembakaran Masjid Besitang, Desa Selamet, Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat.

Melalui Direktur PAHAM Indonesia, Nasrulloh Nasution, SH, lembaga advokasi ini mendorong pemerintah dan pihak terkait agar mengambil tindakan untuk menghindari gesekan dan bentrok antar umat beragama. PAHAM juga meminta kepada KOMNAS HAM untuk melakukan investigasi terhadap peristiwa pembakaran dan pengrusakan masjid di Sumatera Utara karena diduga kuat tindakan tersebut telah melanggar hak asasi manusia.

Saya hanya ingin tahu. Di mana suara pemerintah? Suara LSM dan media-media nasional kita? JUGA TIDAK ADA.

Adalah Dr Ariel Cohen, dalam The Heritage Foundation (2003), merekomendasinya pada pemerintah AS begini;

“AS harus menyediakan dukungan pada media lokal untuk membeberkan contoh-contoh negatif dari aplikasi syariah, seperti potong tangan untuk kejahatan ringan atau kepemilikan alkohol di Chechnya, keadaan Afghanistan di bawah Taliban atau Saudi Arabia, dan tempat lainnya. Perlu juga diekspose perang sipil yang dituduhkan kepada gerakan Islam di Aljazair.” (Hizb ut-Tahrir: An Emerging Threat to US Interests in Central Asia).

Hal senada direkomendasikan Cheryl Benard, dari Rand Corporation, think-thank neo-conservative AS yang banyak mendukung kebijakan Gedung Putih. Menurutnya, ada beberapa ide yang harus terus-menerus diangkat untuk menjelekkan citra Islam. Di antaranya; perihal demokrasi dan HAM, poligami, sanksi kriminal, keadilan Islam, isu minoritas, pakaian wanita, dan kebolehan suami untuk memukul istri. (Civil Democratic Islam, Partners, Resources, and Strategies, The Rand Corporation, halaman 1-24).

Negara-negara kapitalis ini rela menghabiskan dana puluhan juta dolar AS untuk melakukan propaganda negatif. (Lihat: David E Kaplan, ”Hearts, Minds, and Dollars”).

Intinya, apapun tentang Islam, Amerika dan Barat tak akan tinggal diam. Mereka tak akan segan-segan menghabiskan biaya besar untuk mendelegitimasi, mendekonstruksi nilai Islam dengan stigma-stigma.

Apakah hal itu juga terjadi pada media-media nasional di Indonesia? Belum ada bukti tertulis seperti pengakuan Cohen atau Cheryl Benard. Namun setidaknya fakta itu ada dan bisa dirasakan setiap hari dan setiap saat di sekeliling kita.

Lantas, di mana istilah obyektif dan adil yang sering digunakan menjadi nilai-nilai pijakan media itu? Anda tahu jawabannya.(Ali Mustofa, Direktur Rise Media Surakarta/hdytlh)

0 komentar:

Posting Komentar