Social Icons

Pages

Sabtu, 02 April 2011

The Battle Of “Khandaq” (Kisah perjuangan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabatnya dalam mempertahankan kota Madinah)

Pendahuluan

Madinah, malam itu suasana kota sangat mencekam. Pasukan koalisi yang terdiri dari suku Quraisy, Yahudi, dan beberapa kabilah Arab sedang mengepung kota Madinah. Sudah beberapa hari lamanya pengepungan berlangsung namun belum membuahkan hasil. Pasukan kaum musyrikin tidak dapat merangsek masuk ke dalam kota karena terhalang oleh Khandaq atau parit yang telah dipersiapkan kaum muslimin sebelumnya untuk menyambut kedatangan mereka. Baik pihak penyerang maupun yang diserang, sama-sama sedang turun mentalnya melihat situasi yang tidak ada


kepastiannya ini.

Di bawah gelapnya malam yang menyelimuti Madinah, di tengah dinginnya udara gurun pasir –hawa dingin disertai badai angin yang mendadak berhembus kencang- terlihat seorang laki-laki sedang berjalan seorang diri mencoba menyusup ke kamp pasukan musuh. Dengan sikap penuh kehati-hatian dan ketenangan, ditambah gelapnya malam, ia berhasil masuk ke kerumunan pasukan musuh tanpa seorang pun dari tentara kaum musyrikin yang menyadari keberadaannya. Dialah Hudzaifah bin al-Yaman, seorang shahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang di kemudian hari dicatat dalam sejarah sebagai Spionase atau mata-mata tangguh pada era pemerintahan pertama Islam di bawah panji Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Malam itu beliau menjalankan satu misi intelijen yang sangat berbahaya: menyusup ke kamp musuh dan memonitori keadaan pasukan kaum musyrikin, kemudian kembali lagi ke Madinah untuk melaporkan hasilnya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tanpa diketahui pihak lawan sama sekali!

Hudzaifah bin al-Yaman akhirnya berhasil masuk ke jantung pasukan musuh. Setelah berjalan tanpa diketahui oleh seorangpun identitas aslinya, beliau akhirnya mendapati posisi Abu Sufyan, salah satu tokoh pasukan musyrikin, sedang membuat api unggun dikelilingi oleh para pengikutnya, yang jika ada penyusup mendekat, langsung dapat diketahui oleh mereka. Namun di luar dugaan Hudzaifah, tiba-tiba panglima pasukan kafir Quraisy itu mengeluarkan instruksi kepada kaum Quraisy untuk mengecek setiap orang yang ada disamping kanan dan kirinya, “Wahai kaum Quraisy, hendaklah setiap orang dari kalian mengecek, siapa gerangan orang yang ada didekatnya!” Posisi Hudzaifah dalam bahaya. Jika ketahuan, nyawanya-lah yang akan menjadi bayarannya (Al-Masyath, 2006).

Perang Ahzab

Sepenggal cerita di atas hanyalah sekelumit dari kejadian di perang Ahzab. Disebut Ahzab, karena pasukan penyerang terdiri dari gabungan beberapa kelompok kabilah bangsa Arab, yang mana kelompok dalam bahasa Arab disebut Hizb, sedangkan Ahzab adalah bentuk jamak dari kata Hizb. Pertempuran ini juga fenomenal dengan nama perang Khandaq yang berarti parit. Disebut demikian karena untuk pertama kalinya dalam sejarah peperangan di jazirah Arab, strategi parit digunakan oleh bangsa Arab yang di pimpin oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk menahan gempuran pasukan kaum musyrikin yang memiliki keunggulan dalam segi kuantitas pasukan yang luar biasa besarnya.

Perang Khandaq itu terjadi pada tahun kelima hijriyah, tepatnya pada bulan Syawal. Banyak tulisan yang mengisahkan tentang terjadinya perang ini, hanya saja disini penulis mencoba mengisahkannya kembali dengan sedikit penyempurnaan pada tulisan-tulisan yang telah ada. Selamat menikmati!

Yahudi, Biang Keladi Di Balik Perang Ahzab

Di tengah padang pasir yang tandus, di bawah langit yang tak bertiang, terlihat segerombolan orang Yahudi berjumlah 20 orang bersama para dedengkot Bani Nadhir bergerak menuju Mekkah. Dalam lubuk hati mereka, tersimpan rasa dendam yang amat membara terhadap Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan kaum muslimin, terutama setelah mereka diasingkan oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam ke khaibar. Kaum Yahudi itu sangat jengkel terhadap pesatnya perkembangan Islam di Madinah. Dari situ mulailah mereka merencanakan sebuah konspirasi terhadap kaum muslimin, kemudian mempersiapkan berbagai peralatan perang untuk menyerang Madinah dengan suatu serangan yang mematikan.

Berbicara tentang kemampuan provokasi dan sabotase, sepertinya tidak ada yang menandingi bangsa Yahudi dalam hal ini, dari dulu hingga sekarang. Merasa tidak akan mampu menyerang Madinah seorang diri, mereka dengan licik menyusun sebuah rencana keji untuk mengajak kabilah-kabilah yang ada di jazirah Arab untuk menggempur kota Madinah dengan sebuah kekuatan militer yang besar. Maka berangkatlah dua puluh orang tokoh Yahudi dan pemuka dari Bani Nadhir menuju Quraisy di Makkah, guna memprovokasi mereka agar mau berkoalisi menyerang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan Madinah bersama-sama. Karena faktor rasa sakit hati yang masih membekas di hati para pemimpin Quraisy setelah kekalahan mereka yang memalukan di perang Badar, ditambah iming-iming janji kemenangan yang diobral oleh para tokoh Yahudi, maka orang-orang Quraisy menerima tawaran itu. Mereka melihat tawaran dari kaum Yahudi itu sebagai sebuah kesempatan emas untuk mengembalikan pamor mereka yang turun pasca perang Badar.

Tidak cukup memprovokasi suku Quraisy untuk ikut angkat senjata menyerang Madinah, delegasi Yahudi itu kemudian menuju suku Ghathafan, untuk turut mengajak mereka masuk dalam koalisi besar mereka dalam misi menyerang Madinah. Demikianlah akhirnya para pemuka Yahudi itu berhasil menyatukan kelompok-kelompok orang kafir untuk menyerang Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam dan kaum Muslimin secara keseluruhan.

Akhirnya terbentuklah suatu kekuatan militer yang luar biasa besar, yang belum pernah terjadi dalam sejarah pertempuran di jazirah Arab. Pada waktu yang ditentukan, keluarlah pasukan koalisi ini secara serentak. Dari selatan, suku Quraisy dan Kinanah serta para sekutu mereka dengan jumlah empat ribu prajurit beserta perlengkapan perang mereka. Sesampai di daerah yang bernama Marr azh-Zhahran mereka dikejutkan dengan bergabungnya suku Bani Sulaim. Sedangkan dari timur, keluarlah kabilah-kabilah dari suku Ghathafan, yaitu Bani Firazah yang dipimpin oleh Uyainah bin Hisn, Bani Murrah yang dipimpin oleh al-Harist bin Auf, dan Bani Asyja’ yang dikomandoi oleh Mis’ar bin Rakhilah, serta ikut juga Bani Asad dan lainnya. Maka bergeraklah pasukan gabungan ini menuju kota Madinah untuk menuju pos masing-masing sesuai dengan kesepakatan sebelumnya.

Selang beberapa hari saja, berkumpullah di sekitar kota Madinah pasukan yang sangat besar jumlahnya, mencapai sepuluh ribu prajurit, jumlah itu barangkali melebihi jumlah seluruh penduduk Madinah, mulai dari wanita, anak-anak, pemuda dan orang tua. Seandainya pasukan koalisi ini melakukan serangan secara mendadak ke Madinah, tentu akan mengakibatkan dampak yang sangat berbahaya melebihi apa yang terbayangkan bagi eksistensi kaum muslimin, bahkan mungkin bisa menghancurkan kaum muslimin hingga ke akar-akarnya dan membantai sebagian dari mereka (Al-Mubarakfuri, 2005).

Pasukan Gabungan, Taktik Andalan Hingga Zaman Ini

Perang merupakan sebuah bagian yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah peradaban manusia di bumi ini, dari dahulu hingga sekarang. Meskipun orang sadar dan tahu bahwa ia dapat menimbulkan banyak kerugian pada semua pihak termasuk yang memulai perang. Banyak faktor yang dapat memicu terjadinya peperangan di muka bumi ini. Namun, biasanya perang, menurut Sayyidiman, terjadi karena ada suatu bangsa yang tidak puas dengan sikap bangsa lain. Ketika jalan diplomasi mengalami kebuntuan, maka perang adalah jalan terakhir untuk mencapai keinginan (Pengantar ilmu perang, 2008).

Dalam hal ini, orang-orang kafir itu sangat tidak puas dengan pesatnya perkembangan Islam di Madinah yang dipimpin oleh Nabi Muhammad bin Abdullah shallallahu alaihi wa sallam. Berbagai macam cara telah ditempuh untuk menghentikan dakwah beliau; mulai dari memfitnah, mengucilkan, hingga mengiming-iminginya dengan harta, tahta, wanita, dan jabatan. Namun semua usaha itu nihil hasilnya (lihat: Rizqullah, 2006). Maka peranglah jalan keluar satu-satunya.

Pada galibya, pihak penyerang memiliki kekuatan militer yang lebih besar daripada pihak yang akan diserangnya. Karena mustahil serangan dimulai oleh pihak yang kemampuan militernya di bawah pihak yang akan diserang. Hanya saja, jika kekuatan dua kubu itu berimbang atau kekuatan penyerang lebih kecil dari yang akan diserang, ia akan mencari teman guna melakukan penyerangan bersama-bersama atau yang dikenal dengan serangan gabungan. Pada umumnya, cara yang dipakai adalah teknik provokasi atau menghasut pihak lain untuk ikut angkat senjata, tentunya dengan berbagai macam cara agar ia bersedia turut menggempur musuhnya. Masih segar dalam ingatan kita, ketika negeri paman sam membombardir habis negeri Iraq. Meskipun AS punya kekuatan militer yang super power, namun rupanya ia tetap riskan jika harus berperang sendirian. Maka ia pun mengajak negara-negara sekutunya untuk turut bersama-sama menggempur Iraq. Selain agar perang cepat selesai dalam waktu singkat karena kekuatannya yang lebih besar, pasukan gabungan AS ini juga akan memiliki kekuatan politik yang lebih besar dihadapan dunia.

Berkaitan dengan peristiwa perang Khandaq kali ini, bangsa Yahudi sukses mengompori kabilah-kabilah di jazirah Arab untuk menggempur secara bersama-sama Rasulullah dan pengikutnya di Madinah. Mereka sadar, menyerang seorang diri tidaklah akan berhasil. Karena itu, taktik serangan gabungan inilah yang mereka terapkan di kesempatan itu. Hal ini menunjukkan akan kejeniusan bangsa Yahudi dan kemampuannya dalam melakukan diplomasi dalam memprovokasi bangsa lain. Pun di zaman modern ini, metode serangan gabungan masih saja dipakai dalam beberapa peperangan yang terjadi pada tahun-tahun belakangan ini.

Intelijen Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam Berhasil Mengendus Gelagat Tidak Beres Kaum Musyrikin

Madinah, sebuah kota di jazirah Arab, dahulu daerah ini dikenal dengan nama Yatsrib. Semenjak hijrahnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ke wilayah ini, kota ini dikenal dengan julukan Madinatur Rosul atau "Kota Nabi". Denyut nadi kehidupan masyarakatnya mengalami peningkatan yang signifikan sejak diterapkannya syariat Islam. Peningkatan itu terjadi dalam semua lini kehidupan, karena risalah Islam bukan terbatas hanya mengatur masalah hubungan antara hamba dengan Tuhannya, namun juga mengatur segala sendi kehidupan manusia, baik politik, ekonomi, sosial, budaya dan lainnya.

Dari segi HANKAM (pertahanan dan keamanan), kepemimpinan di Madinah oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah kepemimpinan yang tangguh. Beliau sangat memahami keadaan yang sebenarnya dan tidak tinggal diam begitu saja. Tetapi mengirimkan intelijen untuk mengawasi tindak-tanduk kaum musyrikin. Dampak yang bisa ditimbulkan adalah agar dapat mengambil keputusan yang tepat ketika harus menghadapinya. Oleh sebab itu, sebelum pasukan gabungan tersebut bergerak meninggalkan tempat, berita tentang mereka dan rencana penyerbuan yang sangat berbahaya ini sudah sampai ke telinga para pemimpin di Madinah (Al-Mubarakfuri, 2005).

Begitu berita itu sampai, bergegaslah Rasulullah memanggil para shahabatnya guna mengadakan musyawarah tingkat tinggi membahas strategi pertahanan kota Madinah dalam jangka ke depan. Terkhusus dalam menghadapi agresi militer pasukan gabungan kaum musyrikin yang berjumlah besar itu. Setelah berdiskusi antara para pemimpin dan pakar perang, mereka sepakat mengambil strategi yang diusulkan oleh Salman al-Farisi.

Salman berkata, “Wahai Rasulullah, dahulu kami di negeri Persia, apabila dikepung (musuh), kami membuat parit di sekitar kami (untuk mempartahankan diri dari gempuran lawan dan menahan laju serangan).” Usulan itu merupakan strategi yang sangat jitu dan belum pernah dikenal oleh bangsa Arab sebelumnya. Sehingga manakala diterapkan, tentunya akan memberikan kejutan yang besar kepada pihak musuh, mengingat bangsa Arab belum mengenal dan memahami bagaimana cara menghadapi taktik ini sebelumnya (Al-Mubarakfuri, 2005).

Disini, kita dapat melihat bagaimana sikap sejati seorang pemimpin ketika dihadapkan pada suatu permasalahan yang pelik. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, yang ketika itu menjabat sebagai pemimpin kaum muslimin di Madinah tidak langsung membuat keputusan sendiri, melainkan memanggil para shahabatnya untuk memusyawarahkan persoalan ini bersama-sama. Musyawarah adalah salah satu ajaran Islam dalam memecahkan permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat.

Hari-Hari Yang Melelahkan

Dengan segera, dimulailah proyek pembangunan konsep pertahanan parit itu, secepat mungkin. Sebelum tentara gabungan kaum musyrikin itu sampai Madinah. Daripada itu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mempercayakan kepada setiap sepuluh orang, untuk menggali parit seluas empat puluh hasta.

Kaum Muslimin mengerjakan penggalian parit itu dengan penuh semangat dan etos kerja yang tinggi. Sementara itu, Rasulullah tidak hanya memberikan motivasi kepada para shahabat, namun juga turut menyingsingkan lengan baju dan turun langsung bersama mereka menggali parit. Bukhari meriwayatkan dalam kitab "Shahih"nya: dari Sahl bin Sa’ad, dia mengisahkan peristiwa itu, “Kami bersama Rasulullah di dalam parit. Sementara mereka menggali, kami memindahkan tanah galian, sedangkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berdoa:

Ya Allah, tiada kehidupan kecuali di akhirat. Maka ampunilah orang-orang Muhajirin dan Anshar.

Dari Anas berkata, “ (Ketika) Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam beranjak menuju parit, beliau mendapati kaum Muhajirin dan Anshar sedang menggali parit di pagi hari yang dingin, karena mereka tidak mempunyai hamba sahaya yang bisa mereka pekerjakan untuk itu. Begitu menyaksikan keadaan mereka yang keletihan dan kelaparan, beliau pun lantas berdoa:

Ya Allah, sesungguhnya kehidupan yang kekal adalah kampung akhirat, maka ampunilah kaum Anshar dan Muhajirin.

Daripada itu, kaum Muslimin mengerjakan penggalian parit itu dengan penuh semangat, meskipun perut mereka dihinggapi rasa lapar yang sangat. Sungguh keadaan yang memilukan hati. Berikut ini Anas mengisahkan kondisi mereka saat itu, “(Suatu hari para penggali parit) mendapat kiriman segenggam gandum. Gandum itu kemudian dimasak dengan minyak yang sudah kadaluarsa. Lalu dihidangkan untuk semua pekerja yang sedang lapar. Padahal makanan itu sendiri tidak enak rasanya dan tidak sedap aromanya” (Al-Mubarakfuri, 2005).

Rasulullahpun Turut Merasakannya

Abu Thalhah bercerita, “Kami mengadu kepada Rasulullah tentang rasa lapar yang kami alami. Lalu kami perlihatkan perut kami yang kami ganjal dengan sebuah batu. Tiba-tiba Rasulullah pun memperlihatkan perutnya yang telah diganjal dengan dua buah batu” (Al-Mubarakfuri, 2005).

Mu’zijat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam

Pada masa-masa penggalian parit itu, banyak sekali tanda-tanda kenabian yang tampak. Seperti yang dialami oleh Jabir bin Abdullah. Suatu hari ia mendapati kondisi Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam keadaan rasa lapar yang sangat. Maka segera si Jabir menyembelih seekor kambing. Sementara istrinya menggiling satu sha’ (=± 2,5 kg) gandum. Kemudian ia meminta Rasulullah agar bersedia datang secara diam-diam ke rumahnya bersama dengan beberapa orang sahabat saja; khawatir makanan yang ada tidak mencukupi. Namun, justru, Nabi shallallahu alaihi wa sallam malah mengajak seluruh penggali parit yang jumlahnya mencapai seribu orang. Anehnya, mereka semua bisa memakan suguhan itu hingga kenyang. Terlebih lagi, masih tersisa sepanci daging dalam keadaan tertutup seperti belum terjamah. Begitu pula adonan roti itu masih tetap utuh seperti semula.

Lain lagi cerita saudara perempuan Nu’man bin Basyir. Ketika itu, ia membawa sekeranjang kurma ke lokasi penggalian parit untuk dimakan oleh ayah dan pamannya saja. Namun, di saat berjalan, ia berpapasan dengan Rasulullah yang kemudian meminta darinya beberapa buah butir kurma. Tiba-tiba kurma itu beliau letakkan di atas bajunya seraya memanggil seluruh penggali parit. Maka serta merta mereka semua berdatangan untuk memakan kurma tersebut. Tapi anehnya, seakan-akan kurma itu tidak ada habis-habisnya. Bahkan ketika semua penggali parit itu telah beranjak dari sisi beliau, kurma itu masih berjatuhan dari ujung bajunya.

Kali ini, keanehan yang terjadi jauh lebih dahsyat dari dua hal di atas. Yakni seperti apa yang di riwayatkan oleh Bukhari dari Jabir. Ia mengisahkan, “Ketika kami sedang menggali parit dalam perang khandaq, kami menemukan tanah yang sangat keras. Serta merta kami mengadukannya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Tiba-tiba saja beliau berkata, “Aku akan turun (ke dalam parit).” Lalu beliau berdiri. Sementara perutnya diganjal dengan batu. Sedangkan kami sudah tiga hari tidak merasakan makanan. Kemudian beliau mengambil cangkul, lalu menghantamkannya ke tanah keras itu. Di tangan beliau, tanah itu berubah menjadi lunak bagaikan pasir.”

Berikut ini Al-Bara’ menegaskan, “Ketika perang Khandaq, kami menemukan sebuah batu besar yang keras di salah satu parit yang tidak bisa dipecahkan dengan cangkul. Lalu kami mengadukan hal itu kepada Rasulullah. Maka beliaupun datang sambil membawa cangkul kemudian mengucapkan, "Bismillah". Selanjutnya langsung memukul batu itu dengan sekali pukulan. Kemudian mengucapkan, "Allahu Akbar, telah diberikan kepadaku kunci-kunci kerajaan Syam. Demi Allah, saat ini aku benar-benar melihat istana-istananya yang (penuh dengan gemerlapan)." Kemudian beliau memukul tanah itu untuk yang kedua kalinya. Maka terpecahlah sisi yang lainnya. Lalu beliaupun bersabda, "Allahu Akbar, telah diberikan kepadaku negeri Persia. Demi Allah, aku benar-benar melihat istana kerajaannya yang penuh dengan gemerlapan sekarang ini." Lantas beliau memukul tanah itu untuk yang ketiga kalinya seraya mengucapkan, "Allahu Akbar". Maka terpecahlah bagian yang tersisa dari batu itu. Kemudian beliau bersabda, "Allahu Akbar, aku benar-benar diberi kunci-kunci kerajaan Yaman. Demi Allah, aku benar-benar melihat pintu-pintu Shan’a dari tempatku ini” (Al-Mubarakfuri, 2005).

Kondisi geografis kota Madinah

Kota Madinah dikelilingi oleh perbukitan, gunung-gunung, dan perkebunan kurma dari segala penjuru kecuali dari arah utara. Dilihat dari sisi geografis yang sedemikian rupa, kota Madinah sangat diuntungkan dari segi pertahanan. Nabi shallallahu alaihi wa sallam sangat mengetahui bahwa agresi militer dan penyerangan oleh pihak musuh hanya akan terjadi dari arah utara saja. Maka beliaupun memutuskan untuk menggali parit di sebelah utara kota Madinah itu.

Berkaitan dengan itu, kaum Muslimin mengerjakan penggalian parit itu sepanjang hari. Meraka baru pulang ke rumah masing-masing pada sore harinya. Dengan demikian, penggalian parit itu bisa selesai sesuai dengan apa yang direncanakan. Yakni, sebelum pasukan gabungan kaum musyrikin itu sampai ke perbatasan Madinah.

Detik-Detik Yang Menegangkan

Suku Quraisy bergerak dengan kekuatan tempur empat ribu prajurit plus peralatan perang mereka. Ketika mendekati Madinah, mereka mengambil posisi di muara air Rumat yang terletak antara Al-Jarf dan Zaghabah. Sedang suku Ghatafan dan sekutunya dari penduduk Nejed mengerahkan kekuatan sekitar enam ribu tentara. Mereka bermarkas di bagian bawah lembah Naqma di sisi gunung Uhud.

Sementara itu, Rasulullah berangkat menuju ke medan pertempuran dengan kekuatan infanteri sebanyak tiga ribu tentara Muslimin. Kemudian mengambil posisi tempur di gunung Sila’, dan menjadikannya sebagai benteng pertahanan. Sedangkan posisi parit berada di antara mereka dan orang kafir. Sebelum berangkat ke medan tempur, beliau mengangkat Ibnu Ummi Maktum sebagai pemimpin sementara Madinah, seraya memerintahkan para wanita dan anak-anak untuk berlindung di tempat khusus di benteng-benteng Madinah.

Panji perang kaum Muhajirin dipegang oleh Zaid bin Haritsah, sedangkan panji perang kaum Anshar berada di tangan Sa’ad bin Ubadah. Sedangkan Abbad bin Bisyr menjadi pasukan khusus pengaman sang panglima perang kaum Muslimin, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Ia dan beberapa orang shahabat dari kalangan Anshar, mengemban tugas khusus untuk menjaga beliau (Al-Masyath, 2006).

Parit Pertahanan Sukses Membendung Serangan Pasukan Gabungan

Syahdan, ketika tentara kaum Musyrikin bergerak dengan penuh keyakinan dapat menaklukkan Madinah, serta mengakhiri perjalanan dakwah Nabi Muhammad. “Kali ini habis sudah riwayat Muhammad dan ajarannya”, kira-kira begitulah jalan pikiran yang terngingang-ngiang dalam kepala mereka sepanjang perjalanan menuju Madinah. Maklum, dengan kekuatan infanteri sebanyak sepuluh ribu orang, hasil koalisi pelbagai pihak yang ingin menghentikan aktivitas dakwah Rasulullah itu, rasanya hampir mustahil serangan gabungan ini bisa ditahan, apalagi dipatahkan.

Diluar dugaan, betapa terkejutnya Abu Sufyan beserta ribuan pasukannya ketika sampai di perbatasan. Mereka melihat suatu hal yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Sebuah parit membentang lebar menghalangi jalan mereka untuk bisa meneruskan perjalanan menyerang kaum Muslimin dan menaklukkan Madinah. Di sisi lain, barisan pasukan pemanah kaum Muslimin terlihat berjaga-jaga dan dalam keadaan posisi siap tembak. Ketika mata pasukan pemanah itu menangkap gerakan tentara kaum Musyrikin yang mencoba mendekati parit, seketika itu juga anak panah akan langsung melesat dari busurnya menghujani target. Hal ini mengakibatkan pasukan musuh hanya mampu mengepung dari jarak agak jauh saja. Mereka tidak bisa mendekati parit itu, apalagi sampai melewatinya. Terlebih-lebih menimbuni parit tersebut dengan tanah; sehingga mereka bisa membuat jalan yang memungkinkan bagi pasukannya untuk melewatinya.

Alhasil, orang-orang musyrik itu hanya bisa mengelilingi parit itu sambil menggerutu, karena tidak dapat berbuat sesuatu apapun menghadapi stretegi perang yang belum pernah mereka kenal sebelumnya. Kaum Musyrikin mengelilingi parit itu sambil mencari-mencari titik lemah, untuk mereka jadikan sebagai pintu masuk ke Madinah. Namun mereka sama sekali tidak berani terlalu dekat dengan parit itu. Karena hal itu hanya akan menjadikan diri mereka sebagai santapan empuk bagi para pasukan pemanah yang senantiasa berjaga-jaga di seberang parit (al-Mubarakfuri, 2005).

Sementara itu, Pasukan kavaleri (penunggang kuda) Quraisy, merasa benci bila harus berdiam diri di sekitar parit tanpa membuahkan hasil sama sekali dari pengepunga itu. Karena hal semacam ini bukan sifat mereka. Maka bergeraklah sebagian dari mereka, sebut saja Amr Ibnu Abdu Wud, Ikrimah bin Abi Jahl, Dhirar bin al-Khatthab dan beberapa orang lainnya. Mereka ini bermaksud menuju galian parit yang sempit dan bisa diseberangi. Mereka melompat dan mengelilingi tanah yang lembab (berair) di antara parit dan pecahan tanah dengan kuda mereka. Spontan, beberapa orang shahabat Nabi menghadang gerakan mereka. Sehingga mereka mengambil alih celah yang dilewati pasukan berkuda milik Musyrikin itu. Si Amr berteriak, “Siapa yang berani berduel (melawanku)?” Maka tampillah Ali bin Abi Thalib menjawab tantangan itu. Sebelum duel terjadi, sempat terjadi dialog di antara mereka berdua. Di antaranya, “Demi Allah, aku tidak ingin bertarung denganmu”, ujar Amr. Lantas Ali bin Abi Thalib pun menimpali, “Namun, sungguh, Demi Allah, aku ingin sekali membunuhmu”. Mendengar hal itu, emosi Amr pun terbakar. Segera ia turun dari kuda lalu mengusirnya dengan memukul wajahnya. Baru kemudian menemui Ali bin Abi Thalib. Maka terjadilah duel sengit di antara keduanya, yang akhirnya dimenangkan oleh Ali. Begitupun semua petarung dari Quraisy itu akhirnya kalah. Sehingga mereka keluar dari parit tempat terjadinya pertarungan itu dan melarikan diri dalam keadaan ketakutan. Sampai-sampai Ikrimah lari meninggalkan tombaknya begitu melihat kekalahan temannya, si Amr (Ibnu Hisyam, 2007).

Usaha kaum Musyrikin yang berhari-hari mengepung dan mencoba melewati parit itu, juga diimbangi usaha pasukan Muslimin mempertahankannya berhari-hari lamanya, hanya saja karena faktor adanya parit yang menghalangi kedua kubu, tidaklah memungkinkan terjadinya perang terbuka, melainkan hanya saling memanah saja. Dalam pertempuran saling memanah ini, telah jatuh korban jiwa dari kedua belah pihak, enam orang dari pasukan kaum Muslimin, dan sepuluh orang dari kaum Musyrikin.

Berkaitan dengan hal di atas, Sa’d bin Muadz terkena tembakan panah lawan, sehingga urat lengannya putus. Pemanahnya adalah seorang laki-laki dari Quraisy yang dikenal dengan nama Hiban bin Al-Irqah. Maka Sa’d pun berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa tidak ada yang paling aku cintai melainkan memerangi kaum yang telah mendustakan Rasul-Mu dan mengusirnya dari kampung halamannya. Ya Allah, aku berharap Engkau berkenan menghentikan perang antara kami dan mereka. Jika perang ini masih terus akan berlangsung, panjangkanlah umurku sehingga aku berkesempatan berperang melawan mereka. Namun, jika engkau telah berkenan menghentikan perang ini, maka wafatkanlah aku di dalam perang ini.” Lalu ia berkata di akhir doanya, “Janganlah Engkau matikan aku sebelum aku merasa senang bisa memerangi Bani Quraizhah” (Al-Mubarakfuri, 2005).

Aksi Sabotase Yahudi Berikutnya

Ditengah berkecamuknya pertempuran antara pasukan kaum Muslimin dan Musyrikin, ular-ular Yahudi kembali melancarkan serangan berbisanya ke tubuh kaum Muslimin. Mereka hendak mengacaukan barisan pertahanan kota Madinah dengan cara menghasut Bani Quraizhah agar mau membelot dari pakta pertahanan yang telah mereka sepakati sebelumnya dengan Rasulullah, dan bersedia ikut bersama-sama pasukan gabungan kaum Musyrikin memerangi beliau.

Maka berangkatlah salah satu dedengkot provokator Bani Nadhir, Huyay bin Akhtab, ke perkampungan yang dihuni oleh Bani Quraizhah, untuk meyakinkan mereka agar mau masuk ke dalam barisan koalisi. Si Huyay mendatangi rumah Ka’ab bin Asad al-Quradhi, seorang pemuka Bani Nadhir, yang mempunyai wewenang dalam mengadakan kesepakatan dan perjanjian bagi mereka. Sebelumnya, antara pihak Bani Nadhir dengan Rasulullah telah terjadi perjanjian, untuk saling membantu apabila ada musuh yang menyerang salah satu pihak dari keduanya. Si Huyay pun mengetuk pintu rumah Ka’ab. Di luar dugaan, ternyata si Ka’ab justru menutupnya kembali. Karena terus menerus didesak, akhirnya Ka’ab pun membuka pintu untuknya. Lantas si Huyaypun berkata, “Wahai Ka’ab, aku mendatangimu dengan membawa kejayaan dunia dan lautan luas, aku memberimu kabar tentang kedatangan suku Quraisy bersama para pemimpinnya, sekarang mereka semua bermarkas di berkas aliran air di bukit Rumat. Begitu juga suku Ghatafan bersama para pemimpinnya, berkumpul di ujung Naqma dan sisi gunung Uhud. Mereka semua telah berjanji dan bersepakat denganku, untuk tidak meninggalkan tempat mereka, sampai mereka bisa menghancurkan Muhammad beserta para pengikutnya.”

Namun Ka’ab meragukan tawaran itu seraya menukas, “Demi Allah, engkau datang kepadaku membawa kehinaan seumur hidup dan awan kering. Engkau datang dengan kilatan yang menggelegar, namun tidak berisi apa-apa. Celakalah engkau wahai Huyay! Biarkan aku tetap seperti kondisi sekarang, karena sesungguhnya aku melihat kejujuran dan kesetiaan pada diri Muhammad.”

Namun Huyay terus saja membujuknya, hingga akhirnya Ka’ab luluh dan menerima ajakan si Huyay untuk membelot dari kesepakatan yang dibuatnya dengan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, dan ikut serta memerangi Rasulullah, dengan syarat Huyay mau berjanji setia kepadanya dengan nama Allah. “Seandainya suku Quraisy dan Ghathafan pulang tanpa berhasil mencapai tujuan mereka menghabisi Muhammad, maka bawalah aku masuk kedalam benteng pertahananmu, sehingga apa yang menimpamu menimpaku juga,” begitu ucap Ka'ab. Dengan demikian Ka’ab bin Asad, sesepuh Bani Quraizhah, melanggar janjinya, dan terlepaslah semua kesepakatannya dengan kaum Muslimin. Selanjutnya ia menjadi sekutu orang-orang Musyrik dalam memerangi kaum Muslimin (Al-Mubarakfuri, 2005).

Intelijen dan peperangan

Dalam setiap peperangan, baik di zaman dahulu hingga zaman yang serba canggih seperti sekarang ini, operasi intelijen selalu dilibatkan dalam mendukung kesuksesan sebuah pertempuran. Salah satu tujuan operasi intelijen adalah membaca kekuatan dan pergerakan pasukan lawan. Sehingga apabila kekuatan lawan sudah terbaca, tinggal mangambil tindakan antisipasi yang tepat untuk menghadapinya. Diantara cara yang dipakai untuk mendapatkan informasi berharga ini, dilakukan dengan cara menyusupkan mata-mata atau agen rahasia langsung ke dalam pihak musuh. Umumnya agen yang disusupkan ini sudah sangat terlatih sedemikan rupa hingga tidak ada seorangpun dari pihak lawan yang mengetahui identitasnya yang sebenarnya. Ketika pertempuran berkecamuk di antara dua pihak yang saling berperang, informasi intelijen sangat ditunggu oleh setiap komandan pasukan perang masing-masing, sebelum akhirnya membuat keputusan, apa tindakan yang akan dilakukan selanjutnya. Rupanya prinsip intelijen ini, sudah di terapkan jauh-jauh sebelum badan intelijen modern yang kita kenal sekarang ini dibentuk.

Ketika Shafiyah binti Abdul Muthalib berada di atas benteng Hassan bin Tsabit, sementara itu Hassan sedang berada di dalam bersama kaum wanita dan anak-anak, tiba-tiba terlihat seorang Yahudi sedang mengitari benteng mereka. Rupanya Bani Quraizhah telah memutuskan perjanjian yang telah disepakati antara mereka dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dan hendak memerangi kaum Muslimin. Sementara itu, tidak ada yang menjaga para wanita dan anak-anak itu, karena Rasulullah dan kaum Muslimin sedang sibuk menghalau musuh di sisi lain dari Madinah. Sehingga apabila ada musuh yang menyerang dari arah tempat Shafiyyah berlindung, pasukan Muslimin tidak dapat menolong mereka. Melihat gelagat tidak beres itu, Shafiyyah lantas melaporkannya kepada Hassan bin Tsabit, “Wahai Hassan, orang Yahudi itu sedang mengawasi benteng kita seperti yang engkau lihat. Demi Allah, aku khawatir jika dia memberitahukan kelemahan kita kepada orang-orang Yahudi di belakang kita. Sementara Rasulullah dan kaum Muslimin tidak bisa menolong kita jika ada yang menyerang, oleh karan itu turunlah wahai Hassan dan bunuhlah ia”. Namun Hassan justru menjawab, “Demi Allah, engkau tahu bahwa aku tidak bisa melakukannya.” Akhirnya, karena Hassan tidak sanggup untuk membunuhnya, maka bibi Rasulullah itu mengambil tindakan yang cukup heroik dan berani turun tangan mengatasi masalah ini. Ia lantas mengencangkan ikat pinggang, kemudian mengambil potongan tiang, lalu turun dari benteng dan menuju posisi mata-mata Yahudi itu berada. Si Yahudi yang tidak menyadari apa yang akan dilakukan oleh seorang wanita yang mendekatinya itu, akhirnya tewas, setelah Shafiyyah datang dan ‘menghadiahi’ intel Yahudi itu beberapa pukulan yang menyebabkannya meregang nyawa (Ibnu Hisyam, 2007).

Aksi luar biasa yang dilakukan oleh bibi Rasulullah itu benar-benar memberikan pengaruh yang sangat besar bagi keselamatan kaum wanita dan anak-anak, serta pertahanan kota Madinah. Mengetahui mata-mata mereka tidak kembali, alias tewas, para Yahudi itu menyangka bahwa benteng-benteng kaum Muslimin itu selalu dalam penjagaan. Padahal, realitanya tidak terjaga sama sekali. Pada akhirnya, mereka tidak berani mengirimkan mata-mata untuk yang ke dua kalinya, karena khawatir akan bernasib sama dengan yang pertama itu. Bahkan untuk mengerahkan pasukan dari sisi itupun mereka tidak berani, karena menyangka pos itu selalu dijaga ketat oleh pasukan Muslimin. Di sisi lain, Shafiyyah, bibi Rasulullah itu juga telah memainkan pola intelijen modern yang dimainkan oleh dunia intelijen saat ini. Ketika diketahui ada mata-mata yang masuk dan berusaha melakukan Spionase, maka tindakan yang harus segera diambil adalah menyingkirkannya dengan cara apapun, termasuk membunuhnya.

Panglima Perang Yang Tangguh

Akhirnya berita tentang pengkhianatan itupun sampai ke telinga Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan kaum Muslimin. Namun, beliau tidak terburu-buru untuk mengambil tindakan. Beliau menunggu sampai betul-betul tahu persis informasi yang sebenarnya, agar tidak mengambil keputusan yang salah. Untuk itu, Rasulullah mengutus mata-matanya yang bertugas mengecek kevalidan informasi ini seraya berpesan, “Berangkatlah sehingga kalian bisa mengetahui apakah benar berita yang sampai kepada kita tentang (pengkhiantan) kaum Yahudi itu atau tidak. Jika benar, berilah aku isyarat saja. Sehingga aku bisa mengetahui dan jangan disebarkan ke semua orang. Karena hal itu akan mematahkan semangat mereka. Namun, jika mereka tetap menepati kesepakatan bersama, maka sebarkanlah berita itu kepada semua orang.” Ketika Sahabat yang mendapat tugas spionase ini mendekati perkampungan Bani Quraizhah, mereka mendapati orang-orang Yahudi itu dalam keadaan sangat buruk sekali. Di mana mereka dengan terang-terangan mencaci Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dan menunjukkan sikap permusuhan. “Siapa itu Rasulullah? Tidak ada perjanjian antara kami dan Muhammad,” begitu kira-kira perkataan yang keluar dari mulut mereka saat itu, yang berhasil didengar oleh mata-mata Rasulullah. Segera, para shahabat itu kembali dan melaporkan hal ini kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Meskipun Nabi dan sebagian kaum Muslimin berusaha menyembunyikan kenyataan yang sebenarnya itu, tetapi akhirnya diketahui juga oleh semua orang. Karena hal itu terlihat sangat jelas, maka tampaklah di hadapan mereka sebuah bencana yang sangat menakutkan (Al-Mubarakfuri, 2005).

Kisah ini, merupakan kondisi tersulit yang pernah dialami kaum Muslimin saat itu. Karena tidak ada lagi penghalang antara mereka dan Bani Quraizhah; apabila Bani Quraizhah itu ingin menyerang dari belakang. Sementara di hadapan mereka ada pasukan raksasa yang belum berhasil mereka usir dari sekitar parit. Daripada itu, tempat persembunyian anak-anak dan istri kaum Muslimin sangat dekat sekali dengan perkampungan Bani Quraizhah, yang telah berkhianat itu, tanpa adanya penjagaan dan perlindungan yang memadai. “Betul-betul kondisi yang teramat sulit,” begitulah komentar salah seorang sejarawan Islam asal Mesir, Muhammad bin Afifi al-Bajuri atau yang lebih dikenal dengan Syekh Khudhori bek, dalam bukunya “Nurul Yaqin fi Siroti Sayyidil Mursalin” (Dar Ibnu Hazm, 2000).

Kondisi mereka kala itu persis seperti yang digambarkan Allah dalam Surat Al-Ahzab ayat 10-11, yang artinya: “Yaitu ketika mereka datang kepada kalian dari atas atau dari bawah kalian, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan (kalian) dan hati kalian naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kalian menyangka terhadap Allah dengan berbagai prasangka, di situlah diuji orang-orang Mukmin dan diguncangkan hatinya dengan goncangan yang sangat.”

Pada saat itu juga, tampaklah sifat-sifat kemunafikan dari sebagian orang munafik. “Muhammad telah menjanjikan kepada kita, bahwa kita akan memperoleh kekayaan dari istana Kisra (raja Persia) dan Qaishar (kaisar Romawi). Sementara hari ini, tidak ada seorang pun yang merasa aman meskipun sekadar untuk pergi membuang hajatnya,” demikian ujar mereka dengan penuh waswas. Disamping itu juga ada seorang yang berkata di depan kaumnya, “Rumah kami akan menjadi sasaran musuh, maka izinkanlah kami untuk pulang ke kampung halaman kami, karena kampung halaman kami berada di luar Madinah”. Sampai-sampai Bani Salamah sudah merasa gagal terlebih dahulu. Saat itulah Allah menurunkan ayat kepada mereka;

“Dan ingatlah ketika orang-orang munafik dan orang-orang berpenyakit dalam hatinya berkata, ‘Allah dan RasulNya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya,’ dan ingatlah ketika segolongan di antara mereka berkata, ‘Hai penduduk Yatsrib (Madinah), tidak ada tempat bagi kalian, maka kembalilah kalian,’ Dan sebagian dari mereka meminta izin kepada Nabi (untuk pulang) dengan berkata, ‘sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (tidak ada penjaga).’ Dan rumah-rumah itu sekali-kali tidak terbuka, mereka tidak lain hanyalah hendak lari” (QS. Al-Ahzab: 12-13).

Sedangkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika mendengar berita pengkhianatan Bani Quraizhah itu, menyempatkan diri untuk berbaring dan berdiam cukup lama. Sehingga kondisi yang dialami kaum Muslimin itu semakin menjadi-jadi. Lalu beliau bangkit seraya memotivasi, “Allahu Akbar, wahai kaum Muslimin, optimislah kalian dengan kemenangan dan pertolongan Allah.” Kemudian beliau merancang strategi yang bisa mengeluarkan mereka dari kondisi yang sangat pelik ini. Yakni dengan mengutus beberapa penjaga ke dalam kota Madinah, sehingga anak-anak dan para wanita tidak tertimpa suatu serangan secara tiba-tiba. Namun, untuk itu dibutuhkan keberanian yang teguh untuk sanggup memecah-belah pasukan lawan. Dan untuk mewujudkan target itu, beliau harus berdamai dengan dua orang pemimpin Bani Ghathafan, yaitu Uyainah bin Hisn dan Harits bin Auf. Dengan memberi keduanya sepertiga buah-buahan dari kota Madinah, agar mereka berdua mau pulang membawa pasukannya meninggalkan arena pertempuran. Sehingga kaum Muslimin bisa berkonsentrasi untuk memberikan kekalahan telak kepada kaum Quraisy yang tak henti-hentinya selalu menguji kekuatan dan ketangguhan kaum Muslimin.

Kaum Anshar atau yang sebelumnya dikenal sebagai suku Aus dan Khazraj, dikenal sejarah sebagai kaum Arab yang pemberani dalam hal pertempuran. Cepat dalam melakukan penetrasi pertempuran, dan pantang mundur, itulah ciri khas mereka. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr. Al-Amin Muhammad, dosen sejarah di fakultas Dakwah, Universitas Islam Madinah. Suku Aus dan Khazraj memiliki keberanian yang jarang dimiliki oleh kabilah-kabilah Arab pada umumnya. Bahkan tersebut dalam sebuah riwayat: jika mereka hendak berduel dengan musuhnya, mereka terlebih dahulu mengajak musuhnya untuk masuk ke suatu tempat kemudian menguncinya. Di situlah mereka akan bertanding hingga titik darah penghabisan. Sungguh luar biasa! Maka tidak salah, apabila suku Aus dan Khazraj mendapat kehormatan dari Allah, sebagai Anshor Rosulullah (penolong Rasulullah).

Sebelum menjalankan taktik ini, Nabi shallallahu alaihi wa sallam terlebih dahulu bermusyawarah dengan Sa’d bin Muadz dan Sa’d bin Ubadah. “Wahai Rasulullah, jika apa yang kau putuskan itu perintah dari Allah, maka kami akan patuh dan taat”, begitu jawaban keduanya. Lalu melanjutkan, “Namun, jika itu merupakan sesuatu yang engkau lakukan untuk kepentingan (meringankan beban) kami, kami tidak membutuhkannya. Sebab (ketika) kami dan mereka dulu masih dalam (keadaan) musyrik dan menyembah patung, mereka tidak tergiur oleh buah-buahan kami, kecuali apa yang dihidangkan dan lewat jual-beli. Maka ketika Allah memuliakan kami dengan Islam dan memberi kami petunjuk kepadanya, lalu kami dimuliakan dengan kebersamaanmu, relakah kami memberikan harta kami kepada mereka? Demi Allah, kami tidak akan memberikan kepada mereka kecuali pedang!” Dan akhirnya Rasulullahpun sependapat dengan keduanya. Lantas beliaupun berujar, “Aku melakukan itu untuk kepentingan kalian. Karena aku melihat bangsa Arab telah bersatu untuk menyerang kalian” (Al-Mubarakfuri, 2005).

Pertolongan Yang Ditunggu-Tunggu Akhirnya Tiba

Di tengah pengepungan yang masih berlangsung, tanpa ada kepastian sampai kapan keadaan yang menyesakkan dada kaum Muslimin ini akan terjadi. Tiba-tiba seorang laki-laki dari suku Ghathafan yang bernama Nu’aim bin Mas’ud al-Asyja’i datang menghadap Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya telah masuk Islam. Sedangkan kaumku tidak mengetahui akan keislamanku. Maka perintahkanlah apa saja yang harus saya lakukan.” Nabipun menukas, “Engkau ini hanya seorang diri. Berbuatlah semampumu agar suku Ghatafan itu tidak menolong kaum Quraisy. Karena perang itu adalah tipu daya.” Saat itu juga, ia pergi menuju Bani Quraizhah –karena masih ada tali kekerabatan antara dirinya dengan mereka pada masa Jahiliyah dulu- dengan misi memecah belah kekuatan pasukan musyrikin. “Kalian tahu akan kecintaanku kepada kalian, khususnya antara sukuku dengan suku kalian,” ujar Nu’aim mencoba meyakinkan Bani Quraizhah. Spontan merekapun menjawab, “Engkau benar!” Lalu Nu’aim melanjutkan, “Sesungguhnya orang-orang Quraisy itu tidak sama dengan kalian. Negeri ini adalah negeri kalian. Di sinilah tempat harta, anak, dan istri kalian tinggal. Di mana kalian tidak bisa berpindah darinya ke daerah yang lainnya. Kaum Quraisy dan Ghathafan itu datang kemari untuk menyerang Muhammad dan pengikutnya. Sedangkan kalian telah membantu Quraisy dan Ghatafan untuk menyerangnya. Padahal negeri, harta, dan istri mereka tidak bersama mereka. Maka jika mereka mendapatkan kesempatan untuk mewujudkan cita-cita yang mereka inginkan, mereka akan memanfaatkannya. Namun, jika tidak, mereka akan pulang ke negeri mereka dan meninggalkan Muhammad dan kalian. Sehingga Muhammad bisa membalas perbuatan kalian atasnya.” Tanpa disadari, akhirnya suku Quraizhah itu termakan umpan yang dilempar oleh Nu’aim kepada mereka, yang tidak lain adalah sebuah tipuan perang. Serta merta mereka pun menjawab, “Apa yang harus kami perbuat wahai Nu’aim?” Nu’aim pun menjawab, “Janganlah berperang bersama mereka sebelum mereka memberikan jaminan kepada kalian.” “Pendapatmu sungguh benar,” sahut mereka.

Sukses mengecoh Bani Quraizhah, selanjutnya Nu’aim berangkat menemui orang-orang Quraisy guna melancarkan aksi tipu dayanya. Ia terlebih dahulu meyakinkan suku Quraisy sebagaimana yang ia lakukan sebelumnya. “Bukankah kalian tahu betapa sayang dan tulusnya saranku kepada kalian?” kata Nu’aim membuka perbincangannya. Lalu dijawab oleh orang-orang Quraisy, “Tentu.” Kemudian ia melanjutkan, “Sesungguhnya orang-orang Yahudi itu merasa menyesal atas pengkhianatan mereka terhadap Muhammad dan shahabatnya. Dan mereka telah berulang kali mengabarkan kepada Muhammad, bahwasanya mereka akan menerima harta jaminan dari kalian, yang akan mereka bayarkan kepada Muhammad. Lalu setelah itu, mereka akan kembali loyal kepadanya untuk menyerang kalian. Maka jika mereka (orang-orang Yahudi) meminta jaminan itu, janganlah kalian berikan kepada mereka.” Kemudian dia pergi ke Bani Ghathafan, dan dia mengatakan hal yang sama kepada mereka.

Pada malam sabtu bulan Syawal tahun kelima hijriyah, orang-orang Quraisy yang telah termakan umpan tanpa sadar itu mengirim utusan kepada orang-orang Yahudi. Utusan itu berkata, “Kami tidak bisa lagi diam berlama-lama di sini. Kaki dan sepatu kami telah rusak. Segeralah bergabung bersama kami sehingga kita bisa menghabisi Muhammad.” Lalu orang-orang Yahudi itupun mengirim utusan untuk menyampaikan pesan balasan kepada Quraisy, "Bahwa hari ini adalah hari sabtu. Dan kalian sudah mengetahui apa yang menimpa orang-orang sebelum kami ketika mereka melanggar larangan di hari sabtu. Disamping itu, kami tidak akan berperang bersama kalian, kecuali jika kalian mengirim harta jaminan kepada kami.”

Ketika utusan itu datang dengan membawa berita itu, orang-orang Quraisy dan Ghathafan berkata, “Demi Allah, (ternyata) Nu’aim benar.” Lalu mereka balik mengirim utusan kepada orang-orang Yahudi untuk menyampaikan pesan, "Demi Allah, kami tidak akan mengirim apapun kepada kalian. Keluarlah bersama kami sehingga kita bisa menyerang Muhammad." Mendengar hal itu, Bani Quraizhahpun berkata, “Demi Allah, (ternyata) Nu’aim benar.” Siasat propaganda yang dijalankan Nu’aim sukses besar. Akibatnya, kedua kelompok itu akhirnya saling acuh tak acuh. Perpecahan pun terjadi di antara barisan mereka, yang berimbas pada melemahnya semangat juang mereka.

Sementara itu, kaum Muslimin tak henti-hentinya memanjatkan doa kepada Allah, “Ya Allah, tutupilah kelemahan kami dan berilah kami rasa aman.” Rasulullah juga turut berdoa untuk kehancuran pasukan gabungan itu. Beliau berdoa, “Ya Allah yang menurunkan kitab, yang cepat perhitungan-Nya, hancurkanlah pasukan sekutu itu. Ya Allah hancurkan dan cerai-beraikan mereka.”

Allah Maha Mendengar, tidak menyia-nyiakan doa kekasih-Nya dan kaum Muslimin. Tidak berapa lama setelah terjadi perpecahan di dalam barisan kaum Musyrikin, serta semangat untuk saling mengkhianati mewarnai mereka, Allah mengirimkan kepada mereka pasukan-Nya yang berupa angin kencang. Angin itu menghancurkan mereka. Sampai-sampai tidak tersisa satu tempatpun kecuali diterbangkannya. Bahkan tali-tali kemah mereka juga ikut terlepas karena kuatnya angin yang berhembus. Akibatnya, mereka tidak merasa tenang lagi, maka rasa takut dan cemas pun menghinggapi hati mereka (Al-Mubarakfuri, 2005).

Misi Intelijen Hudzaifah Bin Yaman

Dalam hal ini, pihak yang kalah adalah kelompok yang terlebih dahulu meninggalkan arena pertempuran. Sedangkan pemenangnya adalah kelompok yang tetap teguh dalam posisinya. Dalam posisi seperti ini, informasi intelijen tentang kondisi pihak lawan, baik itu fisik maupun mental, hingga manuver apa yang akan dilakukannya selanjutnya, sangatlah dibutuhkan, guna memutuskan, langkah apa yang selanjutnya akan di ambil. Berkaitan dengan itu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebagai panglima perang pasukan Muslimin, mau tidak mau harus mengirim seorang shahabat terbaiknya untuk memata-matai pergerakan pasukan koalisi. Lalu siapakah gerangan orang yang mampu melakukan misi berbahaya ini?

Rasulullah bertanya kepada para shahabatnya, “Adakah salah seorang di antara kalian yang berani melihat kondisi musuh sekarang? Semoga Allah mengumpulkannya denganku pada hari kiamat kelak.” Ditanyai seperti itu, para shahabatnya terdiam tak seorangpun yang menjawabnya. Lalu beliau ulangi lagi pertanyaannya itu hingga tiga kali. Namun, tetap saja tak ada yang menjawab. Akhirnya Rasulullah memanggil seorang dari mereka untuk menjalankan misi berbahaya ini. “Berdirilah wahai Hudzaifah, informasikan kepada kami kondisi musuh (saat ini)”, begitu perintahnya kepada Hudzaifah bin al-Yaman. Kelak, si Hudzaifah ini dikenang dalam sejarah sebagai seorang intel tangguh di era Islam. Begitu mendapat perintah, segera si Hudzaifah bangkit dan berjalan mencoba menyusup masuk ke kamp musuh. Namun, sebelum ia menjalankan tugas, Rasulullah berpesan agar ia tidak berbuat apapun yang dapat mengejutkan pasukan musuh. Karena misi Hudzaifah hanyalah memata-matai, tidak lebih.

Lalu Hudzaifahpun berjalan dengan ekstra hati-hati menuju kamp musuh. Ia diuntungkan oleh gelapnya malam, sehingga musuh tidak mengenalinya. Pun ketika ia memasuki kamp musuh, tak seorangpun dari mereka yang menaruh curiga terhadapnya. Hudzaifah berjalan seakan-akan ia salah seorang dari pasukan musuh. Betul-betul rapi dan tidak membuat orang curiga. Akhirnya, ia mendapati posisi Abu Sufyan, salah seorang tokoh pasukan musuh, sedang menghangatkan badannya di dekat api unggun. Melihat hal itu, spontan Hudzaifah tidak menyia-nyiakan kesempatan emas untuk membunuhnya. Ia letakkan anak panahnya di busurnya dan hendak membunuhnya dengan sebuah lesatan panah saja. Tetapi, buru-buru niat itu ia urungkan, setelah teringat pesan Rasulullah kepadanya itu. Di lain pihak, ternyata Abu Sufyan nampaknya hendak memberikan suatu briefing penting kepada pasukannya. Namun, untuk berjaga-jaga agar jangan sampai ada mata-mata yang mengawasinya, ia mengeluarkan sebuah instruksi cerdik yang tidak diduga sebelumnya oleh Hudzaifah, “Wahai kaum Quraisy, hendaklah setiap orang dari kalian saling mengecek siapa gerangan orang yang ada didekatnya!” Mendengar hal itu, Hudzaifah tidak kalah pintar, secara spontan ia pegang tangan orang yang ada di dekatnya seraya bertanya, “Siapa engkau?” Karena kaget, orang disampingnya itu langsung menjawab, “Fulan bin fulan!” Dengan demikian, amanlah posisi Hudzaifah. Tak seorangpun yang mengecek identitas aslinya, karena ia yang terlebih dahulu bertanya sebelum sempat di tanya. Setelah dirasa cukup aman, Abu Sufyan berkata bahwa ia sudah tidak kuat lagi bertahan, dan akan kembali ke Mekah saja. Diantara salah satu perkataannya, “(…) Sungguh, onta-onta kita telah binasa, dan Bani Quraizhahpun telah meninggalkan kita. Ditambah lagi angin kencang yang menghantam kita seperti yang kalian lihat sendiri. Maka sekarang kembalilah (ke Mekah), karena aku akan pergi sekarang!" Selesai berkata seperti itu, Abu Sufyan segera menuju ontanya dan melepaskan ikatannya, lalu duduk di atasnya. Kemudian ia memecut ontanya dan berjalan pulang menuju Mekah.

Hudzaifahpun segera bangkit kembali menuju markas kaum Muslimin di Madinah untuk menyambaikan berita ini kepada Rasulullah. Sebagaimana yang ia lakukan ketika masuk, kali inipun ia tetap tenang dan hati-hati agar tidak menimbulkan kecurigaan pada diri orang-orang Musyrikin itu. Begitu mendengar kabar ini, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sangat gembira dan senang. Kemudian beliau mengucapkan puji dan syukur ke Hadirat Allah atas kabar gembira ini. Dengan kembalinya Abu Sufyan beserta pasukannya itu, berarti selesai sudah penderitaan berat kaum Muslimin dalam menghadapi pasukan gabungan ini (periksa: Ra'fat Basya, 2007; Rizkullah, 2003).

PR Terakhir Kaum Muslimin

Kembalinya Abu Sufyan beserta pasukannya ke Mekah, bukan berarti kaum Muslimin bisa beristirahat dengan tenang dan tidur nyenyak setelah itu. Masih ada satu PR lagi yang harus diselesaikan. Pada hari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pulang ke Madinah, Malaikat Jibril mendatanginya, yaitu ketika beliau sedang mandi di rumah Ummu Salamah pada waktu Dhuhur. Jibril bertanya, “Apakah kamu telah meletakkan senjata? Sungguh, para malaikat belum meletakkan senjata mereka. Kepulanganmu ini tidak lain kecuali untuk mengejar musuh. Pergilah beserta para shahabatmu menuju Bani Quraizhah. Aku juga ingin turut serta di hadapanmu untuk menggoncangkan benteng pertahanan Bani Quraizhah itu, dan memasukkan rasa takut ke hati mereka.” Selanjutnya, Jibril pun berangkat bersama pasukan malaikat (Al-Mubarakfuri, 2005).

Maka, berangkatlah Rasulullah bersama tiga ribu prajurit untuk memberi pelajaran kepada Bani Quraizhah yang telah mengkhianati perjanjian dan turut membantu pihak musuh dalam memerangi kaum Muslimin. Sesampainya di benteng, beliau dan pasukannya segera mengepungnya, sehingga membuat para penduduk Bani Quraizhah merasa ketakutan yang luar biasa. Menghadapi serbuan kaum Muslimin, tak ada yang bisa diperbuat oleh Bani Quraizhah itu melainkan bertahan di balik benteng mereka itu. Kaum Muslimin terus mengepung mereka hingga dua puluh lima hari lamanya (Khudhori bek, 2000). Setelah sekian hari lamanya bertahan di benteng itu, kondisi mental Bani Quraizhah semakin runtuh, dan ketakutan makin menyusup ke dalam dada mereka. Puncak dari keruntuhan mental mereka itu adalah manakala Ali bin Abi Thalib dan Zubair bin Awwam maju ke hadapan. Lantas si Ali berteriak lantang, “Wahai pasukan Iman, demi Allah, aku akan merasakan apa yang dirasakan oleh Hamzah, atau aku membuka benteng ini!” Seketika itu juga mereka menyerah.

Selanjutnya, Rasulullah memerintahkan untuk menangkapi seluruh kaum laki-laki dan memborgol tangan mereka, serta menawan anak-anak dan wanita. Sebagai balasan setimpal atas pengkhianatan keji mereka itu, digalilah parit-parit di pasar Madinah, kemudian dipenggallah kepala mereka di parit itu secara bergiliran. Sebuah hukuman yang sangat adil dan pantas, mengingat pengkhianatan Bani Quraizhah. Disamping itu, Bani Quraizhah juga mengumpulkan sekitar seribu lima ratus pedang, dua ribu tombak, tiga ratus baju besi, tiga ratus perisai dan topi perang, guna memerangi kaum Muslimin (Al-Mubarakfuri, 2005).

Tidak berselang lama setelah perang ini, seorang shahabat Rasulullah, Sa’d bin Mu’adz, akhirnya menghirup nafas terakhirnya, setelah menderita luka serius di badannya akibat terkena serangan musuh, ketika turut mempertahankan kota Madinah dari serangan pasukan koalisi. Rasulullah mengabarkan, “Arsy Allah yang Maha Penyayang bergetar karena kematian Sa’d bi Mu’adz.” Ketika jenazah Sa’d diusung, orang-orang munafik berkata, “Alangkah ringannya jenazah Sa’d ini”. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berujar, “Sesungguhnya para malaikat juga turut membawanya”.

Penyerangan terhadap Bani Quraizhah terjadi pada bulan Dzulqa’dah tahun kelima Hijriyah. Pengepungan itu berlangsung selama dua puluh lima malam. Tidak jauh berbeda dengan perang Khandaq yang terjadi di tahun yang sama, yaitu pada bulan Syawwal. Sementara itu, pasukan musuh mengepung Rasulullah dan kaum Muslimin selama sebulan atau kurang beberapa hari. Pengepungan itu dimulai dari bulan Syawwal hingga bulan Dzulqo’dah.

Berkaitan dengan semua hal di atas, perang Khandaq bukanlah pertempuran yang mengakibatkan kerugian besar di kedua belah pihak, melainkan perang urat saraf semata. Di mana tak ada pertempuran sengit sama sekali. Namun, perang Khandaq merupakan pertempuran yang sangat menentukan sepanjang sejarah Islam, yang melahirkan perpecahan di barisan kaum Musyrikin. Dari situ bisa diambil kesimpulan bahwa kekuatan apapun yang berkembang di Arab dewasa itu tidak akan mampu memusnahkan kekuatan kecil yang sedang tumbuh di Madinah. Karena bangsa Arab itu tidak akan mampu mendatangkan pasukan yang lebih kuat dari apa yang mereka datangkan pada saat pertempuran Khandaq. Oleh sebab itu, ketika Allah mengusir pasukan sekutu itu, Rasulullah berkata, “Sekarang giliran kita yang menyerang mereka, bukan mereka yang menyerang kita, dan kita yang akan mendatangi mereka” (Al-Mubarakfuri, 2005). Selesai!

PUSTAKA RUJUKAN

Suryohadiprojo, Sayidiman. 2008. Pengantar Ilmu Perang. Jakarta: Pustaka Intermasa.

Al-Mubarakfuri, Shafiyyurrahman. 2005. Ar-Rachiq al-Makhtum. Riyadh: Dar Al-Minhaj.

Pasya, Abdurrahman Raf’at. 2007. Shuwar min hayatis shohabah. Cairo: Islamic Literatur House.

Ibnu Hisyam, Abu Muhammad Abdulmalik. 2007. Siroh Ibnu Hisyam. Beirut: Dar Al-Ma’rifah.

Al-Umari, Akrom Dhiya’. 2009. As-Siroh an-Nabawiyyah as-Shohihah. Riyadh: Maktabah Obekan.

Ahmad, Mahdi Rizqullah. 1424 H. As-Siroh an-Nabawiyyah. Riyadh: Dar Imam ad-Dakwah.

Al-Masyath, Hasan bin Muhammad. 2006. Inaroh Duja fi Maghoozi Khoiril Waro. Jeddah: Dar al-Minhaj.
Al-Bajuri, Muhammad bin Afifi. 2000. Nurul Yaqin fi Siroti Sayyidil Murasalin. Beirut: Dar Ibnu Hazm.
sumber:penadakwah.com

0 komentar:

Posting Komentar