Social Icons

Pages

Rabu, 30 Desember 2009

Tahun Baru Masehi: Sejarah Kelam Penghapusan Jejak Islam

Dalam beberapa hari ke depan, tahun 2009 akan segera berganti, dan tahun 2010 akan menjelang. Ini tahun baru Masehi, tentu saja, karena tahun baru Hijriyah telah terjadi satu pekan yang lalu. Bagi kita orang Islam, ada apa dengan tahun baru Masehi?
Sejarah Tahun Baru Masehi


Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM. Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir.

Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.

Perayaan Tahun Baru

Saat ini, tahun baru 1 Januari telah dijadikan sebagai salah satu hari suci umat Kristen. Namun kenyataannya, tahun baru sudah lama menjadi tradisi sekuler yang menjadikannya sebagai hari libur umum nasional untuk semua warga Dunia.

Pada mulanya perayaan ini dirayakan baik oleh orang Yahudi yang dihitung sejak bulan baru pada akhir September. Selanjutnya menurut kalender Julianus, tahun Romawi dimulai pada tanggal 1 Januari. Paus Gregorius XIII mengubahnya menjadi 1 Januari pada tahun 1582 dan hingga kini seluruh dunia merayakannya pada tanggal tersebut.

Perayaan Tahun Baru Zaman Dulu

Seperti kita ketahu, tradisi perayaan tahun baru di beberapa negara terkait dengan ritual keagamaan atau kepercayaan mereka—yang tentu saja sangat bertentangan dengan Islam. Contohnya di Brazil. Pada tengah malam setiap tanggal 1 Januari, orang-orang Brazil berbondong-bondong menuju pantai dengan pakaian putih bersih. Mereka menaburkan bunga di laut, mengubur mangga, pepaya dan semangka di pasir pantai sebagai tanda penghormatan terhadap sang dewa Lemanja—Dewa laut yang terkenal dalam legenda negara Brazil.

Seperti halnya di Brazil, orang Romawi kuno pun saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci untuk merayakan pergantian tahun. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar Janus, dewa pintu dan semua permulaan. Menurut sejarah, bulan Januari diambil dari nama dewa bermuka dua ini (satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang).

Sedangkan menurut kepercayaan orang Jerman, jika mereka makan sisa hidangan pesta perayaan New Year’s Eve di tanggal 1 Januari, mereka percaya tidak akan kekurangan pangan selama setahun penuh. Bagi orang kristen yang mayoritas menghuni belahan benua Eropa, tahun baru masehi dikaitkan dengan kelahiran Yesus Kristus atau Isa al-Masih, sehingga agama Kristen sering disebut agama Masehi. Masa sebelum Yesus lahir pun disebut tahun Sebelum Masehi (SM) dan sesudah Yesus lahir disebut tahun Masehi.

Pada tanggal 1 Januari orang-orang Amerika mengunjungi sanak-saudara dan teman-teman atau nonton televisi: Parade Bunga Tournament of Roses sebelum lomba futbol Amerika Rose Bowl dilangsungkan di Kalifornia; atau Orange Bowl di Florida; Cotton Bowl di Texas; atau Sugar Bowl di Lousiana. Di Amerika Serikat, kebanyakan perayaan dilakukan malam sebelum tahun baru, pada tanggal 31 Desember, di mana orang-orang pergi ke pesta atau menonton program televisi dari Times Square di jantung kota New York, di mana banyak orang berkumpul. Pada saat lonceng tengah malam berbunyi, sirene dibunyikan, kembang api diledakkan dan orang-orang menerikkan “Selamat Tahun Baru” dan menyanyikan Auld Lang Syne.Di negara-negara lain, termasuk Indonesia? Sama saja!

Bagi kita, orang Islam, merayakan tahun baru Masehi, tentu saja akan semakin ikut andil dalam menghapus jejak-jejak sejarah Islam yang hebat. Sementara beberapa pekan yang lalu, kita semua sudah melewati tahun baru Muharram, dengan sepi tanpa gemuruh apapun. (www.wahdah.or.id)


Kamis, 24 Desember 2009

Asyura' Dalam Perspektif Islam, Syi'ah & Kejawen..!!

A. Asyuro' dalam ajaran Islam

Ulama Ahlussunnah sepakat bahwa pada hari 10 Muharram disyari'atkan untuk berpuasa. Ibnu Abbas menceritakan :

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tiba di Madinah, lalu beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura' ( tanggal 10 Muharram), maka beliau bertanya: "Hari apakah ini?" Mereka menjawab: "Ini adalah hari yang baik. Ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, maka Musa shallallahu 'alaihi wasallam berpuasa pada hari itu karena syukur kepada Allah. Dan kami berpuasa pada hari itu untuk mengagungkannya." Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Aku lebih berhak atas Musa daripada kalian", maka Nabi berpuasa Asyura' dan memerintah-kan puasanya." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)



Harus Menyalahi Ahli Kitab

Para sahabat berkata kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam : "Ya Rasulullah, sesung-guhnya Asyura' itu hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nasrani", maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tahun depan insya Allah kita akan puasa (juga) pada hari yang kesembilan." (HR. Muslim (1134) dari Ibnu Abbas).

Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Abbas dari jalur lain, sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam :
"Berpuasalah pada hari Asyura' dan selisihilah orang-orang Yahudi itu, berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya." (Fathul Bari, 4/245). Imam Syafi'i juga meriwayatkan hadits di atas, makanya beliau di dalam kitab Al-Um dan Al-Imla' menyatakan kesun-nahan puasa tiga kali tanggal 8, 9 dan 10 Muharram. (Al-Ibda', Ali Mahfudz hal. 149, Fathul Bari 4/246).

Keutamaan Asyura'

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ditanya tentang puasa Asyura', maka beliau menjawab:
"Ia menghapuskan dosa tahun yang lalu." (HR. Muslim (1162), Ahmad 5/296, 297).

Karena itu, pantas jika Ibnu Abbas menyatakan : "Saya tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berpuasa pada suatu hari karena ingin mengejar keutamaannya selain hari ini (Asyura') dan tidak pada suatu bulan selain bulan ini (maksudnya: Ramadhan)." (HR. Al-Bukhari (2006), Muslim (1132)).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
"Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah bulan Allah yang bernama Muharram. (HR. Muslim,1163).

B. Bid'ah-bid'ah Asyura'

10 Muharram 61 H adalah hari terbu-nuhnya Abu Abdillah Al-Husen bin Ali (ra) di padang Karbala. Karena peristiwa berdarah ini, setan berhasil menciptakan dua kebid'ahan sekaligus.

Pertama : Bid'ah Syi'ah

Asyura' dijadikan oleh Syi'ah sebagai hari berkabung, duka cita, dan menyiksa diri sebagai ungkapan dari kesedihan dan penyesalan. Pada setiap Asyura', mereka memperingati kematian Al-Husen dan melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela seperti berkumpul, menangis, meratapi Al-Husen secara histeris, membentuk kelompok-kelompok untuk pawai berkeliling di jalan-jalan dan di pasar-pasar sambil memukuli badan mereka dengan rantai besi, melukai kepala dengan pedang, mengikat tangan dan lain sebagainya. (At-Tasyayyu' Wasy-Syi'ah, Ahmad Al-Kisrawiy Asy-Syi'iy, hal. 141, Tahqiq Dr. Nasyir Al-Qifari).

Kedua : Bid'ah Jahalatu Ahlissunnah

Sebagai tandingan dari apa yang dilakukan oleh orang Syi'ah di atas, orang Ahlussunnah yang jahil (Bodoh) menjadikan hari Asyura' sebagai hari raya, pesta dan serba ria.

Menurut Ahmad Al-Kisrawi Asy-Syi'iy: "Dua budaya (bid'ah) yang sangat kontras ini, menurut literatur yang ada bermula pada jaman dinasti Buwaihi (321H - 447 H.) yang mana masa itu terkenal dengan tajamnya pertentangan antara Ahlus-sunnah dan Syi'ah. Orang-orang jahalatu (bodoh) Ahlussunnah menjadikan Asyura' sebagai hari raya dan hari bahagia sementara orang-orang Syi'ah menjadikannya sebagai hari duka cita, mereka berkumpul membacakan syair-syair haru kemudian menangis dan menjerit." (At-Tasyayyu' Wasy-Syi'ah hal.142)

Sementara Syekh Ali Mahfudz mengatakan bahwa di Kufah ada kelompok Syi'ah yang sampai ghuluw (berlebihan) dalam mencintai Al-Husen (ra) yang dipelopori oleh Al-Mukhtar bin Abi Ubaid Ats-Tsaqafi (tahun 67 H dibunuh oleh Mush'ab bin Az-Zubair) dan ada kelompok Nashibah (yang anti Ali beserta keturunannya), yang diantaranya adalah Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi. Dan telah disebut di dalam hadits shahih.
"Sesungguhnya (akan muncul) di Tsaqif (kepala suku dari Hawazin) seorang pendusta dan pembantai."

Pendusta tadi adalah Al-Mukhtar yang memperselisihkan keimamahan Ibnul Hanafiyah, dan pembantai tadi adalah Al-Hajjaj yang membenci Alawiyyin, maka yang Syi'ah tadi menciptakan bid'ah duka cita sementara yang Nashibah menciptakan bid'ah bersuka ria. (Al-Ibda' hal. 150)

Bid'ah-bid'ah tersebut berbentuk :

* Menambah belanja dapur.
Banyak riwayat yang mengatakan :"Barangsiapa yang meluaskan (nafkah) kepada keluarganya pada hari Asyura', maka Allah akan melapangkan (rizkinya) selama setahun itu." (HR. At-Thabraniy, Al-Baihaqi dan Ibnu Abdil Barr). Asy-Syabaniy berkata: semua jalurnya lemah, Al-Iraqi berkata : sebagian jalur dari Abu Hurairah dishahihkan oleh Al-Hafidz Ibnu Nashir, jadi menurutnya ini hadits hasan, sedangkan Ibnul Jauzi menulisnya di dalam kumpulan hadits palsu. (Tamyizuth-Thayyib minal Khabits, no. 1472, Tanbihul Ghafilin, 1/367). Sementa-ra itu imam As-Suyuthi dengan tegas mengatakan : "Telah diriwayatkan tentang keutamaan meluaskan nafkah sebuah hadits dhaif, bisa jadi sebabnya adalah ghuluw di dalam mengagungkan-nya, dari sebagian segi untuk menandingi orang-orang Rafidhah (Syi'ah) karena syetan sangat berambisi untuk memalingkan manusia dari jalan lurus. Ia tidak peduli ke arah mana -dari dua arah- mereka akan berpaling, maka hendaklah para pelaku bid'ah menghin-dari bid'ah-bid'ah sama sekali." (Al-Amru Bil Ittiba', hal.88-89)
Imam Ahmad mengatakan ketika ditanya : "Hadits ini tidak ada asalnya, ia tidak bersanad kecuali apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Uyainah dari Ibnul Muntasyir, sementara ia adalah orang Kufah, ia meriwayatkan dari seorang yang tidak dikenal." (Al-Ibda', Ali Mahfudz, 150)

* Memakai celak (sifat mata).

* Mandi.
Mereka meriwayatkan sebuah hadits: "Barangsiapa yang memakai celak pada hari Asyura', maka ia tidak akan mengalami sakit mata pada tahun itu. Dan barangsiapa mandi pada hari Asyura', ia tidak akan sakit selama tahun itu." (Hadits ini palsu menurut As-Sakhawi, Mulla Ali Qari dan Al-Hakim) (Al-Ibda', hal. 150-151)

* Mewarnai kuku.

* Bersalam-salaman. Imam As-Suyuthi mengatakan : " Semua perkara ini (no.2-5) adalah bid'ah munkarah, dasarnya adalah hadits palsu atas nama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ." ( Al-Amru bil Ittiba', hal.88)

* Mengusap-usap kepala anak yatim.

* Memberi makan seorang mukmin di malam Asyura'. Mereka tidak segan-segan membuat hadits palsu dengan sanad dari Ibnu Abbas yang mirip dengan haditsnya orang Syi'ah yang berbunyi:
"Barangsiapa berpuasa pada hari Asyura' dari bulan Muharram, maka Allah memberinya (pahala) sepuluh ribu malaikat, sepuluh ribu haji dan umrah dan sepuluh ribu orang mati syahid. Dan barangsiapa memberi buka seorang mukmin pada malam Asyura', maka seakan-akan seluruh umat Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam berbuka di rumahnya sampai kenyang." (Hadits palsu dinyatakan oleh imam As-Suyuthi dan Asy-Syaukani, no. 34, lihat Tanbihul Ghafilin, 1/366).

* Membaca do'a Asyura' seperti yang tercantum dalam kumpulan do'a dan Majmu' Syarif yang berisi minta panjang umur, kehidupan yang baik dan khusnul khotimah. Begitu pula keyakinan mereka bahwa siapa yang membaca do'a Asyura' tidak akan meninggal pada tahun tersebut adalah bid'ah yang jahat. (As-Sunan wal Mubtada'at, Muhammad Asy-Syuqairi, hal.134).

* Membaca "Hasbiyallah wani'mal wakil" pada air kembang untuk obat dari berbagai penyakit adalah bid'ah.

* Shalat Asyura'. Haditsnya adalah palsu, seperti yang disebutkan oleh As-Suyuthi di dalam Al-La'ali Al-Mashnu'ah (As-Sunan wal Mubtada'at, 134).

C. Asyuro dalam Tradisi dan Kultur Kejawen

Bulan Suro banyak diwarnai oleh orang Jawa dengan berbagai mitos dan khurafat, antara lain :
Keyakinan bahwa bulan Suro adalah bulan keramat yang tidak boleh dibuat main-main dan bersenang-senang seperti hajatan pernikahan dan lain-lain yang ada hanya ritual.

Ternyata kalau kita renungkan dengan cermat apa yang dilakukan oleh orang Jawa di dalam bulan Suro adalah merupakan akulturasi Syi'ah dan animisme, dinamisme dan Arab jahiliyah. Dulu,orang Quraisy jahiliyah pada setiap Asyura' selalu mengganti Kiswah Ka'bah (kain pembungkus Ka'bah) (Fathul Bari, 4/246). Kini, orang Jawa mengganti kelambu makam Sunan Kudus. Alangkah miripnya hari ini dan kemarin.

Di dalam Islam, Asyura' tidak diisi dengan kesedihan dan penyiksaan diri (Syi'ah), tidak diisi dengan pesta dan berhias diri (Jahalatu Ahlissunnah) dan tidak diisi dengan ritual di tempat-tempat keramat atau yang dianggap suci untuk tolak bala' (Kejawen) bahkan tidak diisi dengan berkumpul-kumpul. Namun yang ada hanyalah puasa Asyura' dengan satu hari sebelumnya atau juga dengan sehari sesudahnya. Waallahu-a'lam.(alsofwah.or.id)

[Oleh Ustadz Abu Hamzah A. Hasan Bashori, Lc. M. Ag]


Senin, 14 Desember 2009

SILSILAH PEMBELAAN PARA ULAMA DAN DU’AT (bagian I)

(mereka berkata…dan kami pun berbicara…)

(“Silsilah pembelaan para du’at dan ulama)

Muqaddimah :

BISMILLAH WASSHOLATU WASSALAMU ‘ALA RASULILLAH.…

Allah Ta’ala berfirman :


“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), Karena sebagian dari prasangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”

Dari Abu Barzah radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda : “Wahai orang-orang yang telah beriman dengan lisannya dan belum masuk keimanan itu dalam hatinya, jangan kalian menggibahi kaum muslimin dan jangan mencari-cari kesalahan-kesalahan mereka, karena barangsiapa yang mencari-cari kesalahan mereka maka Allah akan menampakkan aib mereka walaupun ia melakukannya di dalam rumahnya”. (HR. Abu Dawud. Syaikh Al-Albany rohimahulloh berkata: Hasan Shahih).

FATWA LAJNAH DAIMAH No. 16873, tgl 12-2-1415 H :

Alhamdulillah wassholatu wassalamu ‘ala man la Nabiyya ba’dahu. Amma Ba’du…

Lajnah Tetap untuk Riset Ilmiyah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabiah telah meneliti sebuah pertanyaan yang diajukan pada yang mulia Mufti ‘Am dari penanya bernama Muhammad bin Hasan Alu Dzabyan dan dilanjutkan pada seksi umum Haiah Kibar Ulama dengan no. (3134) tgl 7-7-1414 H.

Pertanyaannya sebagai berikut : “Kita mendengar dan mendapatkan sebagian orang yang mengaku salafiyyah, kesibukan mereka hanyalah menggungjing para ulama dan menuduh mereka sebagai ahlul bid’ah, seakan-akan lisan-lisan mereka diciptakan hanya untuk itu padahal mereka mengaku salafiyyah. Pertanyaan kami, apa sebenarnya yang dimaksud salafussoleh dan apa sikap salafussoleh terhadap kelompok-kelompok Islam yang ada di zaman ini ?? Jazakumulloh ‘anna wal muslimin khoiral jaza sesungguhnya ia maha mendengar do’a.

Setelah diteliti, maka Lajnah Daimah menjawab sebagai berikut :

Jika sesuai dengan apa yang disebutkan, maka menggungjing ulama dan menuduh mereka ahlul bid’ah serta tuduhan keji lainnya tertolak dan bukanlah merupakan jalan para salaf dan orang-orang pilihan dari mereka. Adapun dakwah salaf yang sebenarnya adalah yang mengajak pada Al-Qur’an dan Sunnah di atas jalan para salaf dari kalangan sahabat radhiallahu ‘anhum dan para tabi’in yang mengikuti jalan mereka dengan baik, hikmah, wejangan dan debat yang santun serta berjuang menundukkan jiwa melakukan ketaatan, dan istiqomah di atas prinsip dasar agama, yaitu menyeru pada persatuan dan ta’awun dalam kebaikan, menyatukan pendapat kaum muslimin dalam kebenaran, menjauhkan diri dari perpecahan dan sebab-sebabnya seperti saling membenci dan memusuhi, iri (hasad). Dan hendaknya mereka menjaga kehormatan kaum muslimin serta tidak berprasangka buruk pada mereka dsb yang menjadi sebab perpecahan diantara kaum muslimin dan menjadikan mereka berkelompok-kelompok yang saling melaknat antara yang satu dengan lainnya. Alloh Ta’ala berfirman : “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”.

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung”.

“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka Itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat”…

Telah shahih dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda : “Janganlah kalian menjadi kafir setelah aku meninggal, sebagian diantara kalian memenggal leher sebagian lainnya…”. Dan sebagainya berupa ayat-ayat serta hadits-hadits yang menjelaskan larangan berpecah belah sangatlah banyak.

Karena itu, memelihara kehormatan kaum muslimin merupakan salah satu diantara prinsip dasar agama Islam yang haram bagi siapapun untuk mencemarkan dan mencelanya. Disamping keharamannya lebih besar jika yang menjadi sasaran adalah para ulama, mengingat manfaat yang mereka berikan pada kaum muslimin sebagaimana kedudukan mereka yang disinggung dalam Al-Qur’an dan Sunnah, diantaranya Alloh Ta’ala menjadikan mereka saksi atas keEsaan-Nya, Alloh berfirman : “Syahidallahu annahu…..”.

Dan bahaya tersebut di atas disebabkan karena merekalah pembawa syari’at. Jika pembawa syari’at dicela maka menjadi sebab tercelanya apa yang mereka bawa. Perbuatan ini mirip dengan sikap ahlul ahwa’ yang menghina serta mencela para sahabat, padahal para sahabat merupakan saksi-saksi dari syari’at yang dibawa oleh Nabi ummat ini. Konsekwensinya, jika saksi dicela maka yang disaksikan juga ikut tercela.

Olehnya, merupakan kewajiban bagi seorang muslim untuk iltizam dengan adab, petunjuk serta syari’at Islam, sembari menjaga lisan-lisan mereka dan tidak menggunjing para ulama. Hendaknya mereka bertaubat dari perbuatan tersebut (mencela kaum muslimin). Jika ternyata terdapat kekeliruan dari seorang alim, maka tidak boleh kekeliruan itu menjadi sebab untuk menjatuhkan sang alim dan kembalilah pada para ulama yang mumpuni keilmuan agama serta keshohihan aqidah mereka. Disamping hendaknya setiap muslim tidak menerima begitu saja segala yang sampai kepadanya berupa perkara yang dapat menggiring dirinya dalam kebinasaan tanpa ia sadari. Dan hanya Allah Ta’ala pemberi taufiq wa shollallahu ‘ala Muhammad wa alihi wa sallam…

Lajnah Daimah

Ketua : Abdul Azis Bin Baz

Abdul Azis bin Abdullah bin Muhammad Alus Syaikh

Abdullah bin Abdurrohman Al-Ghudayyan

Bakr bin Abdillah Abu Zaid

Sholih bin Fauzan Al-Fauzan

Amma Ba’du….

Wallohul musta’an…!!

Saat menelaah beberapa artikel dan menyimak kaset-kaset ceramah yang sarat tuduhan keji pada Wahdah Islamiyah (WI), yang pertama terlontar dari mulut kami adalah kalimat di atas. Memori kami tertarik ke belakang mengingat tuduhan demi tuduhan yang dahulu dibidikkan pada para pengusung dakwah kebenaran dari zaman para Nabi hingga masa sekarang ini. Para Nabi dan Rasul dahulu dituduh dengan aneka macam celaan seperti, tukang sihir, orang gila dan sebagainya. Demikian pula para imam-imam ahlis sunnah, Imam al-Syafi’i rahimahullah pernah dituduh sebagai Rafidhi, demikian pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dituduh sebagai al-Mujassimah, Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab sebagai kharijy, dan selain mereka rahimahullah. Seakan tuduhan dan celaan merupakan sunnatullah yang selalu mengiringi dakwah kebenaran yang sengaja dilontarkan oleh mereka yang berusaha menghalangi manusia dari jalan Allah Ta’ala.

Subhanallah…! Bagaimana mereka mempertanggungjawabkan tuduhan-tuduhan keji tersebut baik lewat tulisan, rekaman kaset, bulletin, via internet dsb. Jujur kami bergidik kala mengingat salah satu tafsir-an firman Allah Ta’ala dalam surat Qof ayat 18 : “Tiada suatu ucapan-pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat Pengawas yang selalu hadir”.

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu berkata: “Akan dicatat seluruh yang mereka ucapkan berupa perkataan yang baik dan buruk, hingga ucapan mereka : Saya telah makan, saya telah minum, saya telah pergi, saya telah datang, saya telah melihat…”. [1]

Sebenarnya kami sama sekali tidak berselera menanggapi artikel-artikel dan ceramah-ceramah tersebut. Akan tetapi, lantaran telah lama didiamkan, perbuatan ikhwah-ikhwah kita tersebut semakin hari semakin menjadi. Demikian pula banyaknya tuntutan dari ikhwah mutarabbi khususnya di daerah yang ingin mengklarifikasi tuduhan-tuduhan tersebut. Maka sebagai bentuk tanggung jawab kami kepada Allah Ta’ala dalam hal penyampaian hujjah, maka dalam kesempatan ini, secara berkala kami akan paparkan beberapa hal sebagai tanggapan dari tuduhan keji yang sengaja dilontarkan kepada para asatidzah WI yang selama ini menjadi bulan-bulanan pena dan lisan mereka. Kendati kami sadar, bahwa tuduhan-tuduhan keji tersebut akan menjadi pahala gratis bagi para asatidzah, begitu pula bagi mereka yang terdzolimi. Diriwayatkan bahwa ketika sampai pada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha tentang sekelompok orang yang mencela Abu Bakar dan Umar radhiallahu anhuma, ia berkata : “Sesungguhnya Allah enggan kecuali mengalirkan pahala bagi keduanya walaupun keduanya telah meninggal dunia”.

Dan bagi mereka yang mau inshof, tahu dari mana mereka para penuduh mengambil rujukan untuk membangun sebuah vonis hukum bagi WI. Coba simak tulisan-tulisan mereka di internet, diantara tuduhan mereka adalah “WAHDAH ISLAMIYAH TERLIBAT JARINGAN TERORIS”, dan sumber mereka hanyalah nukilan dari koran dan media serta berita-berita intelejen yang seandainya dikembalikan pada ilmu periwayatan hadits, berita yang berasal dari media itu muttaham dapat tertuduh karena syarat adalah-nya tidak terpenuhi [2].

Dan yang lebih hangat lagi, berita yang dinukil dari www.tribun-timur.com yang memaparkan wawancara Ust. Muhammad Zaitun Rasmin, Lc, bahwa WI siap terjun ke politik praktis pada pemilu 2014 mendatang. Padahal yang shohih[3] wartawan tribun keliru dalam mendengar penjelasan Ust. Muhammad Zaitun. Bahkan sikap WI sangat jelas pada kader-kader yang terjun langsung dalam kancah politik praktis, dengan menon-aktifkan kader tersebut serta tidak dibenarkan sama sekali mengatasnamakan WI dalam politik praktisnya.

Bahkan yang lebih lancang lagi, mereka menuduh WI membolehkan demonstrasi, SUBHANALLOH…! Haatu burhanakum inkuntum shodhiqin…”.!! Berikut kami menukil tulisan yang mereka muat dalam situs mereka www.almakassari.com [4]:

Pertanyaan:
Katanya Salafy melarang demonstrasi, lalu kenapa wahdah-salafy melakukannya?

Jawab: Siapa yang mengatakan Wahdah itu salafy? Sekarang yang mengaku salafy itu banyak, boleh saja semua orang mengaku salafy, tapi belum tentu dia salafy.

Salafy itu bukanlah jubah yang dipakai siapapun yang ingin memakainya kemudian dia katakan bahwa dirinya adalah salafy.

Tidak, tapi salafy adalah sebuah keyakinan yang tergambar, tertanam dalam diri seseorang dan dari amalannya menunjukkan hal tersebut, inilah yang disebut salafy.

Tanggapan:

Dalam sebuah acara dialog di stasiun TV “AL-MAJD” KSA, dengan tema “BERSAMA SAMAHATUL MUFTI” Syaikh Abdul Azis Alu Syaikh hafidzahulloh,[5] beliau ditanya: “Apakah boleh seseorang mengaku saya salafy dan selainnya tidak ??

Beliau menjawab: Wahai saudaraku, Allah Ta’ala berfirman :“…Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa”. (An-Najm : Ayat 32). Seorang itu diukur bukan sekedar dengan pengakuannya dan intisabnya akan tetapi dengan apa yang sebenarnya. Keimanan itu bukan sekedar perhiasan dan angan-angan, akan tetapi apa yang terpatri dalam hati dan dibuktikan dengan amalan. As-Salafiyah yang hakiki adalah mereka yang mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berjalan di atas jejak para salaf dari kalangan sahabat dan para tabiin yang mengikuti mereka dengan baik. Seorang muslim adalah yang yakin dengan agamanya dan tidak boleh baginya memberi gelar dengan selain Islam. Adapun perkataan seseorang, saya ‘salafy’, saya salafy ini dan saya salafy itu, maka gelar-gelar seperti ini merupakan pujian bagi diri sendiri, dan ini adalah sesuatu yang tidak pantas, sebab semestinya yang menjadi bukti adalah amalan. Adapun jika sekedar pengakuan dan pernyataan bahwa saya telah mendapat pujian dari fulan (atau tazkiyah) dari fulan, maka ini sama sekali tidak bermanfaat baginya. Tidak ada yang bermanfaat bagi anda kecuali amalan anda, keistiqomahan serta manhaj anda yang benar. Allah Ta’ala berfirman: “Dan sesungguhnya inilah jalanku, maka ikutilah dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan yang lain yang menjadikan kalian berpecah-belah dari jalanNya”.[6] Sedangkan pernyataan mereka bahwa yang selain manhaj mereka bukan ‘salafy’, maka ia membutuhkan dalil. Boleh jadi orang yang menyelisihinya itu lebih afdal (utama) darinya atau sama atau lebih baik darinya. Adapun perkataan mereka, bahwa siapa yang menyelisihi kami dan manhaj kami maka ia bukan salafy, maka jika seandainya memang menyelisihi kebenaran, maka kita katakan ‘ia’, namun jika hanya sekedar pengakuan maka kita tidak menerimanya. Yang kita inginkan dari seluruh ikhwah dimana-pun mereka berada agar menjadikan tujuan utama mereka adalah keikhlasan dalam beramal karena Allah, menasehati ummat dan berusaha menyelamatkan mereka (ummat) dari kegelapan kejahilan dan kesesatan. Disamping menanggalkan sikap berbangga-bangga pada kelompok dan tampil beda yang dengannya ia menyelisihi saudaranya yang lain. Kita semua adalah muslim yang satu, “Dialah yang menamai kalian Muslimin sebelumnya”[7], adapun pembagian-pembagian, ini salafy lama dan ini salafy baru, ini salafy isiqomah dan ini bukan salafy istiqomah, maka pembagian-pembagian semacam ini adalah sesuatu yang tidak boleh didukung”.

Pembawa acara : “Ya Syaikh, bagaimana dengan gelar-gelar yang disematkan secara khusus pada sebagian kaum muslimin?

Syaikh Mufti : “Hendaknya kita menjauhkan diri dari menghukum secara personal, dan acara ini bukan tempat untuk saya memuji atau mencela fulan. Tujuan utama kita adalah manhaj dan jalan. Adapun berbicara tentang fulan dan fulan, boleh saja hari ini benar dan besok salah, sebab ini tabi’at manusia, sebagaimana dikatakan: “seseorang dikenal dengan kebenaran (yang ia perjuangkan), sedang kebenaran tidak dikenal dengan orang per-orang”. Kebenaran adalah sesuatu yang pasti, adapun seseorang bisa sesuai dengan yang haq dan bisa pula menyelisihinya”.

Perlu diperhatikan, kami tidak mengingkari secara mutlak kebolehan ber-intisab kepada manhaj salaf dengan memperindah nama kita melalui bubuhan kalimat as-salafy atau al-atsary di belakangnya, karena telah jelas perkataan ulama tentang hal ini. Yang kami ingkari adalah jika ternyata tidak ada korelasi antara intisab kita terhadap manhaj salaf dengan realita diri, baik dalam hal aqidah, ibadah, mu’amalah ataupun akhlaq. Sebab, ibroh terpenting adalah ketetapan kita terhadap manhaj yang shohih ini, dan bukan sekedar intisab (baca: pengakuan) seperti kata Mufti ‘Aam di atas. Dan yang lebih berbahaya dari semua itu, tercemarnya manhaj salaf yang mulia ini lantaran perbuatan sebagian mudda’i bis salafiyah (baca:peng-klaim) yang menghabiskan waktu dan tenaganya untuk menghujat dan mencerca para du’at dengan celaan dan tikaman yang jauh lebih menyakitkan dari tikaman keris. Lalu menyelubungi kenistaan tersebut dengan dalih nasehat bagi umat dari laten khawarij (itupun jika tuduhannya benar), padahal umat yang di nasehati masih jauh tenggelam dalam kesyirikan, meninggalkan shalat dan puasa serta dosa-dosa besar lainnya yang jelas saja keadaannya jauh lebih buruk dari para du’at yang dicela, ma lakum kaifa tahkumun??. Hingga berindikasi munculnya stigma buruk tentang manhaj yang yang ini di tengah kaum muslimin, wallohu musta’an.

Satu hal yang barangkali banyak diantara kita, para du’at salafiyah tidak menyadarinya, bahwa gelar-gelar apapun yang tersemat pada diri kita, kendati gelar tersebut merupakan gelar syar’i (yang diakui oleh Syara’) namun jika ia digunakan untuk mengadakan perpecahan di kalangan umat Islam, maka ia dikategorikan sebagai gelar (sebutan) jahiliyah yang tercela.

Fadhilatus Syaikh Dr. Abdullah al-Ghunaiman -mantan guru besar Universitas Islam Madinah-, dalam tulisan beliau yang berjudul “al-Hawa wa Atsaruhu fi al-Khilaf“, menyatakan: “Kendati penyebutan “salafy” ada atsar yang menopangnya, dalam arti orang yang mengikuti jalan para shahabat, namun jika ia digunakan untuk tujuan ta’asshub atau fanatik terhadap satu kelompok tertentu, maka ia dibenci oleh syari’at.

Beliau melanjutkan: “Disebutkan dalam sirah pada salah satu perang Nabi shallallahu alaihi wasallam, terjadi sengketa antara dua orang pemuda, yang satu berasal dari golongan Muhajirin dan lainnya dari golongan Anshar. Lalu pemuda Muhajirin itu berseru: “Wahai Kaum Muhajirin!!”, sang pemuda Anshar-pun berteriak: “Wahai kaum Anshar!!”. Mendengar hal tersebut, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersegera keluar seraya berkata: “Ada apa ini, (ini adalah) seruan ahli Jahiliyah!!, tinggalkanlah, sebab ia tercela”.[8] Padahal, kedua nama ini (yakni Muhajirin dan Anshar) disebutkan dalam al-Qur’an, dan dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi, tatkala ia digunakan untuk tujuan ta’asshub, maka ia menjadi sebuah perbuatan jahiliyah. Dan Nabi shallallahu alaihi wasallam mengabarkan bahwa seruan ini tercela sebab ia mengajak pada perpecahan dan perselisihan.

Demikian pula yang terjadi pada diri Salman al-Farisi saat perang Uhud ketika melempar salah seorang dari kaum musyrikin seraya berseru lantang: “Rasakan, Aku ini farisy (orang Persia)”. Maka Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda padanya: “Katakanlah, dan saya seorang muslim!”.[9]

Adapun wahdah-islamiyah mereka jauh dari penamaan salafiyah. Tidak ada orang-orang salafy yang melakukan demonstrasi.

Tanggapan :

Bisakah antum menyebutkan kapan WI berdemonstrasi?!! Bahkan kalau mau jujur, ustadz-ustadz salafy dahulu-lah yang kemudian terjebak dalam perbuatan demonstrasi. Masih segar dalam ingatan kita, beberapa tahun silam, peristiwa “demonstrasi” yang digerakkan panglima Laskar Jihad Ust. Ja’far Umar Thalib di Senayan lalu berlanjut di depan Istana Negara yang kala itu dihuni oleh presiden Abdur Rahman Wahid. Saat itu disamping sebagai panglima Ust. Ja’far merupakan tokoh sentral “salafy”. Perlu antum ingat, bahwa saat itu ustadz-ustadz salafy antum tergabung dalam pasukan Laskar Jihad pimpinan Ust. Ja’far Umar Thalib, dan tidak ada yang mengingkari perbuatan tersebut. Bahkan istilah “demonstrasi” berusaha ditalbis dengan istilah Ust. Ja’far, “Idzhar al-Quwwah“. Ala kulli hal, kata Idzhar juga merupakan pecahan dari kata mudzaharah[10], dan subtansinya sama. Parahnya, demonstrasi ala ustadz-ustadz salafy ini tidak cukup hanya dengan kepalan tangan, namun harus keluar sambil menghunus senjata-senjata tajam. Duh, sepanjang pengetahuan kami, demo-demo yang dilakukan oleh IM atau Hizbut Tahrir di tanah air (terlepas dari keliru tidaknya), yang selama ini dicela dan disesatkan oleh kalangan salafy, belum pernah sekali-pun terdengar mereka keluar sambil menghunus senjata tajam dan makian keji pada penguasa (semoga ustadz-ustadz salafy yang terlibat telah bertobat kepada Allah Ta’ala).

Kemudian tidak ada dari kalangan salafiyun yang membolehkan bai’at, mereka (wahdah) mempunyai bai’at.

Tanggapan : Kami tidak tahu dari mana antum membangun tuduhan keji di atas. Silahkan tanya kepada ikhwah-ikhwah yang telah terpengaruh dengan syubhat antum, apakah mereka pernah di bai’at ketika aktif di kajian wahdah?? Hatuu burhanakum in kuntum shodiqin !!.

Tidak ada dari kalangan salafiyun yang membagi tauhid menjadi 4, salah satunya tauhid Hakimiyah

Tanggapan :

Alhamdulillah, di WI baik pada ta’lim dan tarbiyah yang diajarkan adalah pembagian tauhid menjadi 3 sebagaimana yang disebutkan para salaf. Adapun yang mereka tuduhkan itu, mungkin saja pernah disebutkan oleh salah satu dari kalangan asatidzah WI. Akan tetapi, orang yang inshof tentu tidak menghukumi sesuatu secara mutlak. Dan kalaupun demikian adanya, maka kami ingin bertanya: “Apakah ketika ada yang membagi tauhid menjadi empat yang merupakan hasil ‘istiqro’ mereka, lantas kita bid’ahkan?”. Kalau demikian, maka antum pun telah membid’ahkan Imam Ibnul Qoyyim yang membagi tauhid menjadi dua!!.

Perlu diketahui, pembagian itu ada dua. Pertama, pembagian yang sifatnya syar’i/ta’abbudi, Kedua, pembagian yang sifatnya istiqro-i/fanni. Pembagian jenis pertama adalah pembagian yang berasal dari syariat, baik dari alqur’an maupun as-Sunnah, contohnya adalah pembagian rukun islam atau rukun iman. Untuk jenis ini, kita harus menerima secara bulat tanpa menambah atau menguranginya. Bahkan orang yang lancang menambah dan menguranginya bisa jatuh dalam kekufuran. Adapun jenis kedua, sumbernya adalah penelitian dan pengkajian terhadap nash-nash al-Qur-an dan as-Sunnah. Tidak ada nash khusus yang menjelaskan pembagian itu. Olehnya untuk jenis ini terdapat keluasan padanya, contohnya adalah pembagian tauhid di atas. Tidak ada nash dari al-Qur’an ataupun as-Sunnah yang mengatakan tauhid itu terbagi menjadi 3. Namun pengkajian yang di lakukan ulama dari al-Qur’an dan as-Sunnah membawa kepada kesimpulan, bahwa tauhid terbagi menjadi 3 dan ada juga yang membagi menjadi 2. Contoh pada kasus lain adalah pembagian syirik. Ada yang membagi syirik menjadi 2 dan ada pula yang membaginya menjadi 3. Penyelisihan kita terhadap pembagian jenis ini lebih ringan dari pembagian yang pertama. Bahkan kita tidak sampai keluar dari manhaj salaf dengan penyelisihan terhadap pembagian jenis ini, wallahu a’lam.[11]

Dan tidak ada dari kalangan salafiyun yang memperbolehkan berbilangnya jama’ah islamiyah seperti yang dilakukan oleh orang-orang wahdah

Tanggapan :.

Kami memohon kepada Allah Rabbul ‘Alamin, semoga dakwah yang diusung WI bisa menjadi tonggak pemersatu ummat, sebagaimana namanya (Amin ya Robb). Justru kami khawatir sikap dan perangai antum yang jauh dari kesantunan dan senang menebar fitnah dan dusta yang akan memicu perpecahan ummat ini (wal ‘iyadzubillah).

Dan tidak ada dari salafiyun yang membela Ahlul Bid’ah.

Tanggapan :

Permasalahan pertama, kriteria ahli bid’ah versi “salafy” yang begitu rancu. Sebab hal ini dibangun di atas penerapan kaidah bid’ah yang rancu pula. Akibatnya, penyematan gelar ahli bid’ah terkesan serampangan, dan tertuju pada orang-orang yang tidak semestinya. Kedua, kalau tokh anggapan mereka kaum “salafy” itu benar bahwa tokoh-tokoh yang mereka cap sebagai ahli bid’ah, maka sebenarnya WI bukan membela ahlul bid’ah (menurut anggapan salafy), Ma’adzalLoh..!! tetapi WI cuma membela orang-orang yang terdzolimi dari kalangan para duat dan ulama yang menjadi bulan-bulanan celaan antum seperti Sayyid Qutb, Hasan Al-Banna, Syaikh Safar al-Hawali, Syaikh Salman, Syaikh ‘Aidh al-Qarni, hafidzahumulloh al-ahya wa rahimal amwat minhum, yang sebelumnya telah dibela dengan tegas oleh ulama kibar seperti Syaikh Bin Baz, Ibnu Utsaimin, Al-Albani, Syaikh Abdul Muhsin, Syaikh al-Jibrin, Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahumullLoh wa hafidzollohul ‘ahya.[12]

Dan tidak ada dari salafiyun yang memunculkan manhaj muwazanah. Ini sebagian kerusakan orang-orang wahdah islamiyah.

Tanggapan :

Masalah jarh dan ta’dil sebenarnya adalah bukan masalah sepele. Jika dipegang oleh para thuwailib ‘ilmi maka akan menjadi musibah, apalagi jika ditambah dengan sedikitnya sifat wara’ dan ketakwaan pada Allah. Imam Ad-Dzahabi –rahimahulloh- berkata : “Membicarakan para ulama membutuhkan keadilan dan ketakwaan” [13]. Allah Ta’ala berfirman di dalam Al-Qur’an: “Janganlah disebabkan kebencianmu pada satu kaum membuat kalian tidak berlaku adil, adillah karena itu lebih dekat dengan ketakwaan”. (Al-Maidah : 8).

Dan masih perkataan Adz-Dzahabi rahimahulloh ketika menyebutkan biografi Al-Hafidz Muhammad bin Nashr : “Seandainya setiap kali seorang imam keliru dalam ijtihadnya pada satu masalah yang bisa dimaafkan serta merta kita mencela, membid’ahkannya dan memboikotnya, maka tak akan selamat dari kita Ibnu Nashr dan Ibnu Mandah, bahkan yang lebih senior dari mereka berdua. Dan hanya Allah yang memberi petunjuk pada jalan yang lurus dan kita berlindung dari hawa nafsu dan tutur kata yang kasar”.[14]

Sa’id bin Musayyib (seorang tabi’in) pernah berkata : “Tidak ada seorang alim atau yang mulia dan memiliki keutamaan melainkan ia memiliki cacat (aib). Akan tetapi barang siapa kebaikannya lebih banyak dari kekurangannya, maka akan pergi kekurangan tersebut dan tertutupi oleh kelebihannya”.[15]

Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu pernah berkata: “Janganlah setiap ada kalimat salah yang keluar dari mulut saudara kalian, membuat kalian lantas berprasangka buruk jika masih bisa berprasangka baik dan memberinya alasan (kemungkinan-kemungkinan baik) dari perkataannya itu”.[16]

Berkata Abu Robi’ Muhammad bin Al-Fadl Al-Balkhy : Saya mendengar Abu Bakr Muhammad bin Mahrawaih berkata: Saya mendengar Ali bin Husain bin Al-Junaid berkata: Saya mendengar Yahya bin Ma’in berkata: “Sesungguhnya kita mencela sebagian kaum yang boleh jadi mereka telah meniti langkah-langkah kaki mereka ke surga sejak lebih 200 tahun yang lalu..!!! berkata Abu Bakr Muhammad bin Mahrawaih: “Saya masuk menemui Abdur Rahman bin Abi Hatim yang saat itu sementara membaca buku jarh dan ta’dil, lalu menyampaikan perkataan Yahya tersebut. Beliau kemudian menangis dan tangan beliau bergetar hingga buku itu berserakan jatuh”.

Dan khusus dengan manhaj Muwazanah, maka WI tidak pernah mengatakan bahwa hal itu merupakan sesuatu yang wajib. Akan tetapi penerapannya kembali pada setiap person. Jika seseorang nyata dalam kebid’ahan dan kesesatannya bahkan menyeru kepada kebid’ahannya, maka kita mentahdzir ummat dari mereka seperti kelompok syi’ah, JIL, Islam Jama’ah, Sufiah, ahmadiyah dan sebagainya. Adapun jika seseorang terkenal dengan keistiqomahannya serta berdakwah menyeru kepada tauhid dan melarang dari kebid’ahan, maka hendaknya kita tidak mendzolimi mereka hanya disebabkan ketergelincirannya, bahkan kebaikannya akan menutupi kekurangannya tersebut. Tentunya nasehat dengan baik dan hikmah tetap dilakukan dan bukan dengan menyingkap aib mereka serta mencerca dengan tuduhan keji.

Anehnya, kendati ikhwah-ikhwah kita ini mengaku mengikuti jalan dakwah salafiyah yang dibawa oleh para imam ahlu sunnah, namun ketika ada sikap dan pendapat para imam yang bertentangan dengan hawa nafsu mereka otomatis perbuatan imam tersebut ditolak begitu saja. Termasuk diantaranya masalah muwazanah tersebut. Padahal metode ini telah diterapkan bahkan disebutkan secara jelas oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa:

?????? ???????? ????????? ???????? ?????? ????????????? ?????????????? ????????? ?????? ???? ???????? ???? ?????? ??? ?????? ???? ???????? ????? ?????? ?????? ???????????? ????????????? ????????????? . ??????? ??????? ?????????????? ???????????????? ?????? ???????? ????? ???????? ??????????? ??????? ???????? ??????? ???? ?????????? ????????????? .

“Terkadang, seseorang dipuji karena meninggalkan sebagian perbuatan dosa berupa bid’ah dan asusila. Akan tetapi, sekalipun demikian kadang tercabut apa yang dipuji oleh selainnya meskipun dia tetap melakukan sebagian perbuatan baik yang sesuai dengan sunnah. Maka inilah metode muwazanah dan keadilan. Barangsiapa yang menapakinya, maka ia telah menegakkan keadilan yang Allah Ta’ala turunkan padanya Kitab dan mizan”.[17]

Sebagai contoh dari apa yang kami katakan, penerapan prinsip tersebut oleh para ulama Robbani:

1. Ketika Syaikh Al-Albany ditanya tentang Sayyid Qutb, beliau menjawab: “Kami yakin bahwa Sayyid Qutub –rahimahullah- tidaklah bermanhaj salafy pada sebagian besar dari fase kehidupannya. Akan tetapi nampak pada dirinya kecondongan yang begitu kuat kepada Manhaj Salafy pada akhir-akhir kehidupannya saat ia mendekam di dalam penjara. Salafiyah bukan hanya sekedar pengakuan, akan tetapi yang dituntut padanya adalah pengetahuan akan al-kitab, Sunnah Sahihah dan atsar salafiyah….”.[18]

Dan dalam muqoddimah buku beliau ‘ghoyatul maram’ yang mentakhrij hadits-hadits dalam buku ‘al-halal-wal haram’[19] tulisan DR. Yusuf Qordhowy, beliau juga menerapkan manhaj ini..

1. Syaikh Ali bin Hasan bin Abdul Hamid al-Halaby al-Atsary, murid senior Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam buku beliau “Ilmu Ushul al-Bida’”, menukil perkataan Syaikh Dr. Yusuf al-Qardhawi kala menjelaskan Kaidah Pertama pada hal. 69.
2. Dalam risalah magisternya, Syaikh Fauzan hafidzahulloh dibawah bimbingan Syekh Abdurrozzaq ‘Afify yang berjudul “At-Tahqiqot Al-Mardhiyyah fil Masail al-fardhiyyah”, beliau menjadikan tafsir “Dzilal” Sayyid Qutb rahimahulloh sebagai salah satu referensi.
3. Mufti Kerajaan Saudi Arabiyah, Syaikh al-Allamah Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh -hafidzahullah- berkata: “Kitab tafsir Fi Dzilal al-Qur’an” (buah karya Sayyid Qutb rahimahulloh), adalah kitab yang bermanfaat. Penulisnya menuliskannya agar al-Qur’an ini dijadikan sebagai undang-undang kehidupan. Kitab ini bukanlah tafsir dalam arti kata harfiyah, tetapi penulisnya banyak menampilkan ayat-ayat al-Qur’an yang dibutuhkan oleh seorang muslim dalam hidupnya…Di sana ada orang yang mengkritik sebagian istilah yang terdapat dalam kitab ini. Namun, sesungguhnya hal-hal yang dianggap kesalahan ini adalah dikarenakan indahnya perkataan Sayyid Qutb dan tingginya gaya bahasa yang beliau pergunakan di atas gaya bahasa pembacanya. Inilah sebetulnya yang tidak dipahami oleh sebagian orang yang mengkritiknya. Kalau saja mereka mau menyelaminya lebih dalam dan mengulangi bacaannya, sungguh akan jelas bagi mereka kesalahan mereka, dan kebenaran Sayyid Qutb”.[20]

SUBHANALLOH….!! Ya Alloh selamatkanlah kami…. !!!

Kalau mengaku boleh saja mereka mengaku, dan perlu saya beritahu, pengakuannya kalau mereka mengatakan salafy itu ujung-ujungnya adalah duit. Dan saya sangat kenal akan perbuatan mereka. Mereka punya camp pelatihan di Philiphina, kemudian yang melakukan pengeboman di Makassar adalah kebanyakan orang-orang yang ikut pengajian mereka, maka ini jauh dari penamaan salafiyah.

Tapi kalau untuk mendatangkan orang-orang dari luar, misalnya Saudi, (mereka mengatakan) “Kami Salafy, ayo ajarkan Tauhid kepada kami”

Begitulah seruannya “ajarkan tauhid kepada kami”, tapi ustadz2nya sendiri…., coba antum cari ceramah-ceramahnya yang mengajarkan tauhid, mungkin kalau mengajarkan, mengajarkan tapi tidak tergambar bahwa mereka punya perhatian khusus terhadap tauhid.

Na’am, kemudian mendatangkan ulama-ulama dari Saudi, tapi kalau berbicara di kaset membicarakan pemerintahan Saudi dengan pembicaraan yang sangat keji dan tidak pantas. Kalau ada duit bicaranya bagus, tapi kalau tidak ada duit bicaranya mencela dan menjelekkan

Tanggapan :

Inna lillahi wa inna ilaihi Rojiun..”Ya Allah jika tuduhan mereka pada kami itu benar maka ampunilah kami, namun jika tuduhan itu dusta, maka nampakkan pada kami kekekuasaan-Mu atas mereka”.

Ketahuilah wahai pembaca budiman…, kami bersumpah atas nama Allah, bahwa perkataan-perkataan mereka adalah kedustaan dan kejahilan nyata kepada WI yang hanya didasarkan atas prasangka, Wallohi…!! Pengakuan mereka sebagai salafy (yang mengikuti jalan para salafussalih) hanyalah seperti perkataan orang Arab: “Betapa banyak orang mengaku memiliki hubungan dengan Laila, namun Laila tidak mengakui hubungan-hubungan mereka”…silahkan para pembaca melihat kata-kata dan tuduhan mereka yang keji, sungguh mereka telah merusak citra kaum salaf itu sendiri.

Bukti kebohongan dalam poin ini begitu banyak, diantaranya bahwa pengakuan WI sebagai salafy karena ujung-ujungnya duit…dan diulang lagi pada akhir paragraf: “Kalau ada duit bicaranya bagus, tapi kalau tidak ada duit bicaranya mencela dan menjelekkan”. Parahnya, pernyataan ini dikukuhkan dengan sebuah penegasan: “Dan saya sangat kenal akan perbuatan mereka”. Kami katakan, bahwa ini merupakan satu kedustaan dan pelecehan terhadap harga diri seorang muslim. Siapakah yang anda sangat kenal dari asatidzah atau kader WI itu, yang hanya berbicara bagus jika ada duit lalu mencela jika tidak diberi duit??? Subhanallah hadza buhtanun Adzim.!!!!

Tidak puas sampai disitu, kebohongan dan tuduhan serta upaya merusak nama baik dilanjutkan dengan ucapan batil yang indikasinya sangat buruk. Perhatikan ucapan diatas: “kemudian yang melakukan pengeboman di Makassar adalah kebanyakan orang-orang yang ikut pengajian mereka“. Subhanallah… ini merupakan perkataan sesat yang berusaha menggiring opini publik bersangka buruk dan menarik kesimpulan bahwa WI adalah jama’ah teroris…kami tidak hendak menuduh. Namun dalam tulisan-tulisan lainnya ternyata tuduhan secara tidak langsung ini telah berubah menjadi tuduhan langsung berdasar berita-berita koran yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Yang dapat kami katakan, bahwa ucapan ini merupakan perkataan batil lantaran hanya dilandasi hawa nafsu. Sebab indikasinya, bisa pula melebar pada ulama-ulama Rabbani lainnya. Sebagai contoh dari konsekwensi buruk ucapan batil ini, tatkala mereka menuduh Syaikh Dr. Safar al-Hawali dan Syaikh Salman al-Audah sebagai ahli bid’ah, bahkan sebagai teroris (oleh ustadz salafy Lukman Ba’abduh), apakah kemudian kita akan melemparkan tuduhan yang sama kepada Syaikh Abdul Azis bin Abdullah bin Baz, dan juga Syekh Muhammad Al-Amin As-Syinqity rahimahulloh ??[21] sebab keduanya merupakan murid-murid beliau yang banyak duduk di majelis beliau untuk menimba ilmu darinya bahkan Syaikh bin Baz telah memberi tazkiyah pada mereka berdua. Ma’adzallah….Demikian pula guru-guru para asatidzah WI selama di Universitas Islam Madinah al-Munawwarah, apakah mereka juga antum tuduh sebagai teroris lantaran murid-muridnya di Makassar (menurut tuduhan dusta antum terlibat) jaringan teroris??? Sekali lagi ini merupakan ucapan batil. Dan yang lebih parah lagi, ternyata pelaku-pelaku teror di tanah air banyak melakukan kajian-kajian terhadap buku-buku Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Kenyataan ini, jika memakai kacamata dan ucapan keji di atas, maka akan berindikasi kita-pun melemparkan tuduhan teroris pada kedua ulama Ahli Sunnah di atas. Ma’adzallah.

Karenanya, sangat naif jika kita terlalu tergesa jika mengambil kesimpulan hanya lantaran perbuatan satu oknum. Apalagi oktum tersebut secara struktural tidak terdaftar dalam jajaran pengurus bahkan kader WI. Tuduhan antum bisa diterima jika ternyata seluruh kader WI yang jumlahnya kurang lebih 15 ribu orang bersikap dan berprilaku sama. Akan tetapi dari sekian puluh ribu yang kami disebutkan, hanya ada satu atau dua orang yang antum klaim sering mengikuti pengajian WI yang terlibat. Apalagi sikap WI terhadap jaringan Teroris sangat tegas, bahwa hal tersebut merupakan satu kekeliruan dan bukan merupakan manhaj yang benar. Olehnya, sekali lagi kami nasehatkan antum, hati-hati dan jaga lisan antum dari mengucapkan satu kata fitnah dan dusta. Sebab, serapi-rapi antum sembunyikan fitnah dan dusta, suatu saat bakal tercium juga.!!!

Edisi 1 Dzulhijjah 1430 H

Bersambung InsyaAllah…
[1]. Lihat tafsir Ibnu Katsir.

[2].‘Adalah artinya kelurusan seorang perawi dan tidak memiliki kecacatan sampai dari sisi muru’ah/estetika. Dan media seperti itu, bagaimana mungkin kita menerima begitu saja setiap berita darinya yang sarat percampuraduan antara yang hak dan batil tanpa tabayun ??!!.

Pembaca budiman, tengoklah buku “Mereka Adalah Teroris”, karya Ust. Lukman Ba’abduh yang amat dipuji oleh kalangan “Salafy”, termasuk dalam tulisan al-akh Sofyan Khalid –hadahulloh- yang berjudul “Mengapa Saya Keluar dari Wahdah Islamiyah”, kala menghujat Fadhilatus Syaikh Dr. Safar bin Abdur Rahman al-Hawali berkaitan dengan karya beliau “Wa’du Kissinger” yang membongkar skenario dan konspirasi AS di Timur Tengah, dengan perkataannya: “…Kesimpulan ini dia ambil dari sumber-sumber yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Kemudian dengan jiwa dan emosi kekanak-kanakan dia menyimpulkan dan menyikapi berita tersebut….”. (Lihat: Mereka Adalah Teroris, h. 384). Nah, tatkala perbuatan yang sama mereka lakukan, yakni hanya asal comot dari berita-berita koran yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, tidak ada komentar yang mengatakan: “Bahwa kaum salafy makassar menyimpulkan berdasarkan emosi dan kekanak-kanakan”. Kami Khawatir bahwa ini merupakan buah dari sebuah kaidah yang berlaku dikalangan kawan-kawan salafy kita: “Bagi kami boleh dan bagi kalian tidak boleh”, Wallahu al-Musta’an.

[3]. Dan berita tersebut langsung diklarifikasi oleh Koran Tribun pada edisi berikutnya. Alhamdulillah.

[4]. Situs ini merupakan salah satu situs yang getol menyebar fitnah dan hujatan khususnya pada Wahdah Islamiyah. Silahkan baca artikel-artikel yang termuat di dalamnya beserta bumbu-bumbu komentar dari pembacanya, Anda akan mengetahui hakikat sebenarnya !! Dan yang paling aneh, katanya untuk mencari kebenaran, namun kenyataannya telah berulang kali kami, bahkan ikhwah-ikhwah WI lainnya berusaha mengirimkan tanggapan balik secara langsung pada situs ini, namun sekali-pun tidak pernah dimuat. Kami khawatir jangan sampai situs ini memang sengaja dibuat hanya untuk menebar fitnah dalam barisan kaum muslimin. Wallahu al-Musta’an.

[5] Video rekamannya kami miliki namun kami mohon maaf belum sempat kami posting lewat situs ini dan akan kami usahakan pada tulisan-tulisan berikutnya, begitu pula audio dan video lainnya yang berhubungan dengan topic ini.

[6] . Q.S. Yusuf : 108.

[7] . Kutipan dari firman Allah Ta’ala pada surah al-Hajj : 78. (Pentrj).

[8] . HR. Muslim, Kitab al-Birr, wa al-Shilah, wa al-Adab, Bab Nasru al-Akh Dzaliman au Madzulaman.

[9] . Dan semisalnya seperti dalam riwayat Abu Daud, Kitab al-Adab, Bab Fi al-Ashabiyah.

[10] Demonstrasi dalam istlah arab dikenal dengan ‘Mudzoharorh’

[11] . Keterangan ini disampaikan oleh akhuna salah seorang asatidzah kami, Alumnus Fakultas Hadits Universitas Islam Madinah thn ajaran 1429 H – mengutip penjelasan Syaikh Prof. Dr. Ibrahim bin ‘Amir Al-Ruhaili, Dosen Fakultas Da’wah dan Ushuluddin Universitas Islam Madinah ketika mengajar beliau mata pelajaran Tauhid thn kedua. Uniknya, penjelasan ini terkait dengan pertanyaan yang dilontarkan kepada beliau berkaitan dengan Tauhid Hakimiyah dari seorang mahasiswa asal kuwait, yakni al–akh al-fadhil Faisol sayid. Beliau berani bersumpah, bahwa keterangan tersebut beliau dengar langsung dari Samahatus Syaikh).

[12] Kami memiliki data akurat baik tulisan maupun rekaman dari apa yang kami sebutkan diatas..dan pada tulisan berikutnya kami akan menukil fatwa serta pembelaan para ulama kibar pada masyayekh dan du’at tersebut diatas dengan audio serta tulisan yang kami terjemahkan..

[13] Siyar A’lam nubala (8/448)

[14] Siyar A’lam Nubala (14/40)

[15] Diriwayatkan oleh Al-khotib fil Kifayah (hal.79), At-Tamhid (11/170), Sifatus Shofwah (2/81).

[16] Diriwayatkan oleh Al-Muhamily fi Amaalyh (460), Al-Baihaqy fi Syi’ab (324-6/323).

[17] . Majmu’ al-Fatawa, Ibnu Taimiyah, X/366. Program al-Maktabah al-Syamilah, vol. 3.3.

[18] . Lihat: Duruus li al-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, VII/7, Program al-Maktabah al-Syamilah, vol. 3.3.

[19] Yang diplesetkan oleh sebagian ikhwah ‘halal wal halal’ dan bukan ‘halal wal haram’

[20] . Http://www.alqlm.com/index.cfm?method=home.con&Contentld=207.Fatawa tertanggal 30/8/2005 M.

[21] Syekh Salman termasuk salah seorang murid Syekh Bin Baz, adapun Syekh Safar mengambil tafsir langsung dari Syekh Syekh Syinqty rahimahulloh
VN:F [1.7.7_1013]


MENJELEK-JELEKKAN SATU SAMA LAIN DAN MENJAUHKAN/MEMPERINGATKAN MANUSIA TERHADAP PENUNTUT ILMU

Oleh

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin

Pertanyaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ditanya: ”Bolehkah sebagian penuntut ilmu membiasakan: Menjelek-jelekkan satu sama lain serta menjauhkan dan memperingatkan manusia terhadap (penuntut ilmu) yang lain?”


Jawaban.

Yang jelas perbuatan menjelek-jelekkan (jarh) oleh para ulama satu sama lain adalah perbuatan haram, bila seseorang tidak boleh menggibah saudaranya mukmin walaaupun bukan orang alim, maka bagaimana boleh menggibah saudara-saudaranya yang beriman dari kalangan ulama??!

Kewajiban insan mukmin adalah menahan lisannya dari menggibah saudara-saudaranya mukmin. Alloh Ta’ala berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman,jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Alloh Ta’ala. Sesungguhnya Alloh Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (al-Hujurat: 12)

Hendaknya orang yang di timpa penyakit seperti ini (ghibah-pen) mengetahui bahwa jika ia menjarh seorang alim maka itu akan menjadi sebab ditolaknya kebenaran yang diucapkan oleh sang alim ini. Dan hendaknya dia juga mengetahui bahwa orang yang men-jarh seorang alim maka ia (sebenarnya) tidak men-jarh pribadinya, karena sesungguhnya ia telah menjelek-jelekkan warisan Rasulullah ,karena sesungguhnya para ulama itu adalah pewaris para Nabi. Maka apabila para ulama telah dijarh dan di “tikam” maka manusia tidak lagi akan mempercayai ilmu yang mereka miliki; yang merupakan warisan dari Rasulullah. Dan ketika itu, merekapun tidak lagi mempercayai syari’at yang dibawa oleh sang alim yang telah di-jarh tersebut.

Dan saya tidak mengatakan bahwa setiap alim itu ma’shum (bersih dari kesalahan), karena setiap insan dapat terjatuh dalam kesalahan. Jika anda melihat kesalahan seorang alim menurut keyakinan anda, lalu anda menghubunginya dan mencoba saling memahamkan, jika ternyata yang haq adalah dia, anda wajib menerimanya. Dan jika anda menemukan perkataannya ternyata salah maka wajiblah anda membantah dan menjelaskan kesalahannya, karena mendiamkan kesalahan tidak diperbolehkan. Akan tetapi anda jangan men-jarhnya sementara dia adalah seorang alim yang di kenal dengan niat baiknya. Dan jika memungkinkan anda mengatakan: “Sebagian orang mengatakan begini dan begini padahal pendapat ini adalah lemah.” Kemudian anda menjelaskan sisi kelemahannya dan kebenaran pendapat yang anda lihat, (maka) ini tentu lebih baik dan utama.

Dan jika ingin men-jarh para ulama yang dikenal dengan niat baiknyadisebabkan terpeleset dalam suatu kesalahan masalah agama, maka kita pasti akan men-jarh para ulama besar. Namun yang wajib (dilakukan) adalah seperti yang saya sebutkan. Bila anda melihat kesalahan dari seorang alim maka diskusikanlah dengannya. Jika anda yang benar maka dia harus mengikuti anda. Atau jika ternyata tidak jelas (pendapat yang benar) dan khilaf yang terjadi adalah khilaf yang dibenarkan maka saat itu anda harus menahan diri dan biarlah ia mengatakan pendapat yang ia katakan dan anda pun mengatakan pendapat yang anda katakan.

Khilaf itu terjadi bukan pada masa ini saja, bahkan telah terjadi sejak masa sahabat hingga hari ini. Namun jika telah jelas yang salah akan tetapi ia tetap bersikeras membela pendapatnya, maka anda wajib memperingatkan kesalahan tersebut, bukan atas dasar menjatuhkan orang itu dan keinginan balas dendam, sebab mungkin ia mengatakan perkataan yang benar pada masalah lain selain yang anda diskusikan.

Yang penting saya menasehati saudara-saudarku untuk menjauhi musibah dan penyakit ini (meng-ghibah dan men-jarh -pen), saya mohon kepada Alloh Ta’ala untuk diri saya dan mereka kesembuhan dari segala sesuatu yang dapat membuat kita tercela atau mencelakan kita dalam agama dan dunia kita.

(Kitab “Ash-Shahwah al-islamiyah “ Edisi Indonesia” Panduan kebangkitan Islam” Syaikh Muhammad Shalih al-Utsaimin BAB VII “Perbedaan pendapat (khilaf) di Kalangan Ulama, Menuduh dan Merendahkan Para Dai. Hal. 239-241 Darul Haq)

Sabtu, 05 Desember 2009

Keutamaan Bacaan Istighfar

Seorang pria mendatangi imam masjid Nabawi di kota Madinah, Saudi Arabia. Kepada sang imam, pria tersebut mengatakan bahwa ia telah beberapa tahun menikah namun belum juga dikarunia keturunan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

Berbagai terapi medis dan alternatif telah dijalaninya bersama istri tercinta agar segera memperoleh momongan. Tetapi semua usaha (ikhtiar) tersebut belum membuahkan hasil. Pria tersebut mengharapkan agar sang imam berkenan untuk mendoakannya agar Allah subhanahu wata’ala segera memberinya keturunan.

Sang imam pun bersedia untuk mendoakan pria tersebut. Namun beliau juga meminta pria itu agar tetap berdoa serta rajin membaca istighfar. Sang pria yang belum dikaruniai anak itu menuruti nasehat sang imam. Ia semakin rajin berdoa serta banyak membaca istighfar. Beberapa pekan kemudian pria itu mendatangi sang imam dengan wajah berseri-seri dan mengatakan kalau istrinya telah positif hamil.

Berita menggembirakan tersebut kemudian sampai kepada sejumlah dokter ahli kandungan di negara pengekspor minyak itu. Mereka pun mengadakan penelitian khusus untuk mengetahui hubungan antara bacaan istighfar dengan kesuburan sistem reproduksi seseorang. Setelah beberapa lama mengadakan penelitian, para ahli kandungan Saudi Arabia berhasil mendapatkan jawabannya. Ternyata semakin sering seorang pria membaca istighfar secara lengkap (astaghfirullahaladzim), maka tulang belakangnya akan semakin kuat. Dalam tinjauan medis, kekuatan tulang belakang seorang pria akan mempengaruhi berhasil-tidaknya proses ‘pembuahan’.

Subhanallah, kisah nyata tersebut semakin menguatkan kita bahwa segala perintah-Nya senantiasa mengandung hikmah dan manfaat bagi kita sendiri. Allah subhanahu wata’ala memerintahkan kita untuk senantiasa beristighfar, bahkan tidak kurang dari 99 ayat di dalam Al Qur’an yang berisi perintah maupun penjelasan tentang istighfar. Dengan beristighfar, berarti kita bertaubat atas segala dosa yang kita lakukan. Dan sesungguhnya Allah subahanu wata’ala sangat gembira apabila ada hamba-Nya yang bertaubat. Kegembiraan Allah subhanahu wata’ala direalisasikan dalam bentuk ampunan (QS An Nisaa’ : 110).

Selain memberikan ampunan, ada berbagai keutamaan lain yang Dia berikan bagi hamba-Nya yang beristighfar. Sebagian kecil keutamaan itu dapat kita baca dalam salah satu ayat suci-Nya : “Beristighfar (mohonlah ampunan) kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh : 10-12).
Para mufassir (ahli tafsir Al Qur’an) mengatakan bahwa yang dimaksud ‘kebun-kebun’ dalam ayat di atas adalah harta benda yang banyak. Dengan demikian, seseorang yang rajin beristighfar akan dikaruniai harta yang banyak dan berkah. Allah subhanahu wata’ala pun akan selalu memberikan jalan keluar atas segala kesulitan yang kita hadapi apabila kita senantiasa membaca istighfar dalam berbagai aktivitas keseharian kita. Hal tersebut dinyatakan Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam : “Barangsiapa senantiasa membaca istighfar, maka Allah akan menjadikan baginya dari tiap-tiap kesulitan suatu jalan keluar, dan dari setiap kesusahan suatu jalan keluar, serta Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak diduga-duga.” (HR. Muslim).

Sebagai umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam, marilah kita jadikan bulan suci Ramadhan ini sebagai momentum untuk semakin banyak berdzikir, terutama membaca bacaan istighfar. Marilah kita raih berbagai keutamaan istighfar bagi kebahagiaan kita di dunia maupun di akhirat kelak. Dan mudah-mudahan dengan istighfar yang senantiasa kita ucapkan, segala musibah / problematika yang menimpa umat Islam dan bangsa Indonesia dapat segera diganti dengan berbagai nikmat dari-Nya. Wallahua’lam.(Muhammad Nurhidayat)

WI akan Lepas Alumni Tadrib Du’at Angk. VIII

(Live Via Radio Streaming)


Insya Allah, Dewan Pimpinan Pusat Wahdah Islamiyah (DPP WI) akan melepas alumni Tadribut du’at angkatan VIII secara resmi dalam sebuah tablig akbar, Ahad/6 Desember 2009 di Masjid Darul Hikmah WI. Sebanyak 23 orang alumni tadribut du’at ini akan ditugaskan berdakwah di daerah binaan/cabang WI di seluruh Indonesia.



Tablig Akbar yang akan menampilkan Ketua Umum DPP WI, Ust. Muh. Zaitun Rasmin, Lc, sebagai pemateri, juga dirangkaikan dengan Sosialisasi program Satu Kader Satu (SKS) tahap II WI. Program ini diharapkan dapat memacu akselerasi kader WI secara kuantitas, terutama untuk mencapai visi WI 2015.

Selain itu, WI juga akan mensosialisasikan program Sedekah seribu sehari (S3), yang telah diluncurkan pada Mukernas VI WI Nopember lalu. Program ini merupakan suatu program strategis WI, yang bertujuan mengumpulkan dana untuk kemanusiaan, pembiayaan kebutuhan dakwah WI secara umum.

Acara ini Insya Allah akan disiarkan langsung via Radio Streaming Internet, bisa diakses ditiga website:www.suarawahdah.com, www.wahdah.or.id, www.wimakassar.org


Minggu, 01 November 2009

Wahdah Gelar Silaturahmi Dai Nasional

Sebanyak 300 Dai Wahdah Islamiyah dari seluruh Cabang dan Daerah Binaan (Dabin) berkumpul di Makassar mengikuti Silaturahmi Nasional (Silatnas) Dai dan Murabbi (Pembina), di lantai 2 Masjid Darul Hikmah Kantor DPP WI, Jl.Antang Raya No.48.



Silatnas ini merupakan rangkaian acara Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) VI WI. Peserta yang ikut dalam acara ini tergabung dalam Korps Da’i dan Murabbi (KDM) pada masing-masing Cabang Wahdah, sebagian besar diantaranya merupakan Para Dai alumni Sekolah Tinggi Ilmu Islam dan Bahasa Arab (Stiba) Wahdah dan Alumni Tadribud Duat (Pendidikan Dai) yang telah disebar ke berbagai daerah.

Menurut Ketua Departemen Pengembangan Daerah (DPD) WI Ust.Iskandar Kato bahwa selain sebagai ajang silaturahmi para Dai, diharapkan acara ini dapat memberikan penyegaran, Penguatan serta persamaan persepsi Dai dalam Dakwah pembinaan. Dan yang lebih penting lagi menurut penanggung jawab acara ini, bahwa silatnas ini sebagai tempat sharing dalam masalah problematika dakwah dan solusinya serta strategi percepatan pencapaian visi 2015. Ada empat materi yang diberikan dalam acara ini, Materi terakhir tentang Problem Solving Dakwah diisi khusus oleh Ketua Umum DPP, Ust.Muhammmad Zaitun Rasmin, Lc

Sebelum acara silatnas, Kamis, 29 Oktober 2009 digelar juga Daurah Qadah (Daurah Kepemimpinan) bagi para pimpinan Cabang dan Dabin. Daurah Qada ini dalam rangka peningkatan dari sisi manajerial kelembagaaan dan perencanaan SDM di daerah masing-masing yang merupakan variable pencapaian visi misi.


REKOMENDASI MUKERNAS VI WAHDAH ISLAMIYAH

LAMPIRAN KETETAPAN MUKTAMAR VI WAHDAH ISLAMIYAH

NOMOR : 009/TAP/MUKERNAS VI – WI/1430

REKOMENDASI MUKERNAS VI WAHDAH ISLAMIYAH




1. Menyikapi berbagai fenomena musibah yang tak kunjung hentinya menimpa bangsa Indonesia yang disebabkan oleh menyebarnya berbagai macam kedurhakaan kepada Allah Azza wa Jalla berupa kesyirikan, penentangan kepada syari’at Allah dan sunnah Rasulullah saw, serta berbagai kemaksiatan yang dilakukan secara terang-terangan ataupun tersembunyi, maka Mukernas VI menyerukan kepada seluruh komponen bangsa Indonesia untuk segera bertaubat kepada Allah SWT. dan menghimbau pemerintah Indonesia untuk bersikap tegas dalam menindak pelaku berbagai bentuk kejahatan dan kemungkaran yang dapat mengakibatkan kehancuran masa depan bangsa dan datangnya bala bencana yang lebih dahsyat dari Allah SWT.



2. Menghimbau kepada pemerintah agar memberikan otoritas yang lebih luas kepada para ulama dalam mengatur urusan agama Islam di Indonesia. Menjadikan fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia sebagai referensi dalam membuat kebijakan Negara.

3. Menghimbau pada pemerintah agar sungguh-sungguh melarang dan mengambil tindakan tegas kepada semua aliran agama yang nyata-nyata bertentangan dengan keyakinan masyarakat Muslim Indonesia yang beraqidah Ahlussunnah waljamaah, seperti Syiah, Ahmadiyah, Islam jamaah dan berbagai paham lainnya yang bertentangan dengan aqidah Islam.

4. Meminta kepada Meneg Kominfo yang baru agar secara serius dan bertahap menutup semua situs-situs porno yang merusak moral generasi muda bangsa.

5. Menghimbau kepada Kepolisian Republik Indonesia dan aparat hukum lainnya untuk dapat meningkatkan pemberantasan narkoba dengan menangkap dan menghukum seberat-beratnya pembuat, pengedar dan pemakainya, dan kepada pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini Badan Narkotika Nasional bersama Departemen dan lembaga terkait secara besama-sama dapat menemukan solusi yang tepat guna pencegahan dan pengawasan pengedaran dan penggunaan narkoba.

6. Mengutuk keras agresi Israel ke Palestina dan memprotes keras kebijakan Amerika Serikat yang diskriminatif terhadap bangsa-bangsa Timur Tengah, menyerukan kepada negara-negara Islam (OKI) dan umat Islam sedunia untuk melakukan tekanan kepada Israel dan Amerika Serikat, termasuk tekanan terhadap PBB yang mandul dan tidak dapat melaksanakan perannya sebagai Badan Dunia menyangkut kebijakan dan sikap terhadap persoalan-persoalan yang terjadi di negara-negara Islam terutama di kawasan Timur Tengah.

7. Mendorong pemerintah untuk melakukan regulasi terhadap kebijakan ekonomi untuk membangun ekonomi Islam dalam seluruh institusi ekonomi Islam seperti; perbankan, pegadaian, koperasi syariah, asuransi, dll. Begitu pula menghimbau kepada ummat Islam untuk mendukung gerakan ekonomi Islam dalam rangka menjauhkan diri dari sistem ekonomi ribawi

8. Meminta ketegasan kepada pihak pemerintah untuk memberantas tindak pidana korupsi dengan memberdayakan lembaga-lembaga pemberantasan korupsi secara maksimal dan konsisten.

Ditetapkan di Makassar, 13 Dzulqa’dah 1430H

01 November 2009M

PIMPINAN SIDANG PLENO

TENTANG REKOMENDASI




H. RAHMAT ABDURRAHMAN, LC IR. H. IDRIS PARAKKASI, MM
Ketua Sektretaris

Wahdah Islamiyah Tetap Konsisten di Jalur Dakwah dan Tarbiyah

(Klarifikasi Wahdah Islamiyah Terhadap Pemberitaan di Harian Tribun/Ahad/1/11/09)


Tentang pemberitaan Harian Tribun, yang mengutip pernyataan Ketua Umum Wahdah Islamiyah, (WI), Ust. Muh. Zaitun Rasmin, Lc Harian Tribun/Ahad/1/11/09 yang mengatakan bahwa WI siap membentuk partai politik sama sekali tidak benar. Di depan seluruh peserta Mukernas WI VI, Ust. Zaitun menegaskan, bahwa WI sebagai sebuah ormas Islam tetap fokus dan konsisten dalam dakwah dan pembinaan umat, serta tidak akan terjun atau terlibat di jalur politik praktis, apalagi mendirikan partai politik.


Saat ini, WI juga fokus untuk mencapai visi 2015, yakni menjadi ormas Islam yang eksis diseluruh ibukota propinsi di seluruh Indonesia, yang ditandai dengan terbentuknya Dewan Pimpinan Cabang (DPC), serta memiliki 100 pesantren tahfidz di seluruh Indonesia.

Ke depan, WI akan bekerja keras agar visi misi tercapai, apalagi saai ini tantangan dakwah kian berat. Sehingga, kerja keras, dan kerjasama dengan seluruh komponen masyarakat, pemerintah, serta ormas Islam lainnya, amat diperlukan WI berharap dengan tercapainya visi misi tersebut dapat mewujudkan umat yang rahmatan lil alamin yang bermartabat.

Selasa, 27 Oktober 2009

BERCITA-CITA

“ Barangsiapa mati sedangkan ia belum pernah berjihad, dan ia tidak bercita-cita untuk berjihad, maka kematiannya pada salah satu cabang kemunafikan “ ( H.R. Muslim ).


BERMIMPILAH!
Suatu hari Umar bin Khattab melukakan dialog dengan beberapa orang di zamannya. Umar bin Khattab berkata : “Bercita-citalah!” Maka salah seorang di antara yang hadir berkata :” Saya berangan-angan kalau saja saya mempunyai banyak uang ( dinar dan dirham ), lalu saya belanjakan untuk memerdekakan budak dalam rangka meraih ridha Allah.”

Seorang lainnya menyahut : “Kalau saya, berangan-angan memiliki banyak harta, lalu saya belanjakan fi sabilillah.” Yang lainnya menyahut : “Kalau saya mengangankan kekuatan tubuh yang prima lalu saya abdikan diri saya untuk memberi air zam-zam kepada jama’ah haji satu persatu.”

Setelah Umar bin Khattab mendengarkan mereka, ia pun berkata : “Kalau saya, berangan-angan kalau saja di dalam rumah ini ada tokoh seperti Abu Ubaidan bin Jarrah, Umair bin Sa’ad dan semacamnya.”

Mungkin Anda bertanya mengapa harus bermimpi? Ternyata banyak orang-orang besar ataupun pemimpin besar yang berangkat dari seorang pemimpi. Jadilah pemimpi besar untuk menjadi pemimpin besar. Seorang tokoh pernah mengatakan, seorang pemimpin harus mempunyai banyak mimpi, jika tidak dia tidak layak menjadi pemimpin.

Kalau untuk bermimpi saja tidak berani, maka bagaimana ia berani memimpin? Karena menjadi pemimpin berarti menjadi orang yang cerdas. Yakni berpikir mendahului masanya, meski kadang orang lain belum bisa memahaminya. Ia juga obsesif. Memiliki pikiran dan gagasan besar di luar apa yang dipikirkan orang lain.
Maka, jangan takut bermimpi!

FILOSOFI CITA – CITA…
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa “Keluhuran cita-cita adalah bagian dari keimanan”. Karena orang yang punya cita-cita mulia, obsesi yang tinggi, tujuan luhur, tentunya dia tidak akan menjerumuskan diri dalam kehinaan, dari kemaksiatan, dan kemistaan. Karena itulah bermimpilah dan bercita-citalah setingi bintang. Cita-cita besar adalah tanda kehidupan jiwa, indikasi sukses orang-orang besar. Pintu kebahagiaan siapa saja disebabkan oleh jiwanya selalu terbuka, berpikir dan berjiwa besar.

“Kalau anda percaya bisa berhasil, anda akan betul-betul berhasil.” Demikian kata D.J.Schwartz dalam bukunya The Magic of Thinking Big. “Setiap manusia yang menghasratkan sukses atau menginginkan yang sebaik-baiknya dari kehidupan sekarang ini. Tak ada manusia bisa mendapat kesuksesan dari hidup yang merangkak-rangkak, kehidupan yang setengah-setengah. Tak ada yang ingin merasa dia itu termasuk kelas dua atau terpaksa hidup sebagai “kelas dua” ( D.J.Schwartz, 1978 )

Cita-cita besar itu ibarat dinamo. Cita-cita besar itu ibarat dinamo yang menggerakkan arus positif dan arus negatif yang mengontrol tubuh Anda. Cita-cita besar itu ibarat bahan bakar. Memacu kendaraan untuk maju, melesatkan kereta dengan cepat.

Cita-cita besar itu adalah pintu. Pintu kebahagiaan, pintu kesuksesan, pintu kesempurnaan. “Dan katakanlah:”Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah ( pula ) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi engkau kekuasaan yang menolong.” ( Al-Isra’:80 )

Cita-cita besar itu merupakan obat. Obat penghilang kelemahan, penghilang kemalasan, penghilang kesedihan, penghilang kehinaan.

Cita-cita ciri kemuliaan. Orang mulia adalah orang yang memiliki cita-cita. Karena cita-cita akan membangun pendirian yang kokoh, tidak gentar menghadapi masalah, tidak jera menghadapi kegagalan. Sedangkan orang yang tidak memiliki cita-cita akan menjadi pengecut, penakut dan pecundang. Diantara manifestasi cita nan mulia adalah membangun keluhuran jiwa dan menjauhkan diri dari posisi tertuduh.

Begitu banyak dan begitu penting untuk menjadi besar dengan cita-cita besar. Tapi jangan sekali-kali merasa besar. Karena merasa besar akan menumbuhkan penyakit jiwa, menyebabkan sengsara dan pembawa derita. Sedang menjadi besar membawa bahagia.

JANGAN TAKUT PUNYA CITA-CITA
Kadang kita takut punya cita-cita, karena takut untuk mencapainya. Padahal cita-cita merupakan energi yang akan menggerakkan jiwa, menggerakkan pikiran untuk kreatif, menggerakkan badan untuk aktif, menggerakkan seluruh tubuh mencapai tujuan. Cita-cita adalah ruh yang menjadikan seseorang tetap bertahan. Seperti Imam Ahmad yang tegar di tengah cambukan tanpa menggeserkan sedikitpun keimanan dan keyakinan yang tertanam. Cita-cita pula yang menghadirkan cinta dan kasih sayang ibu terhadap anaknya, melumurinya dengan doa, menghiasinya dengan tarbiyah. Seperti pengorbanan Ibunda Imam Syafi’I yang mengorbankan seluruh hartanya dan menginfakkan waktunya untuk melahirkan ulama besar, referensi peradaban Islam.

BERCITA-CITA ITU SEPARUH KESUKSESAN
Kesuksesan tidak semata-mata diukur pada hasil tapi juga pada proses. Proses merencanakan dengan tujuan yang benar dan mulia. Proses mengorganisasikan dengan rapi dan sistematis. Proses melaksanakan dengan ikhlas, tekun, teliti dan professional. Dan proses evaluasi dengan jujur dan semangat perbaikan tak kenal henti. Dan cita-cita adalah separuh dari kesuksesan. Karena orang yang bercita mulia tak modah goyah untuk menggadaikan di tengah jalan, menukar dengan yang hina dan rendah.

Memiliki cita-cita berarti memiliki tujuan hidup yang jelas. Memiliki kejelasan tujuan adalah separuh dari kesuksesan. Adapun yang separuh itu adalah bagaimana kita menempuhnya. Oleh karena itu, persiapkan cita-citamu sejak sekarang. Karena orang yang cerdas, yang punya cita-cita jelas adalah orang yang selalu mengoreksi dirinya dan beramal untuk bekal sesudah mati. Sedangkan orang yang bodoh adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan hanya berangan-angan kosong.

CITA-CITA DUNIA
Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Ibrahim Al Harbi, yang berguru pada Imam Ahmad mengatakan,”Aku telah menyertai Imam Ahmad bin Hambal selama dua puluh tahun. Saat musim dingin atau musim panas, siang atau malam, tak pernah aku dapati kecuali ia lebih baik dari sebelumnya.” ( Manaqib Ibnu Hambal, Ibnul Jauzy )

Salah bentuk ungkapan cita-cita adalah doa. Kita kaum Muslimin punya sebuah doa yang sangat populer, yakni Rabbana aatina fiddun-ya hasanah wa fil akhirati hasanah waqinaa 'adzaban naar. Ya Allah! Berikanlah kami kebahagiaan di dunia dan berikan pula kebaikan di akhirat dan jauhkanlah kami dari siksa api neraka.” ( Al-baqarah:201 )

Doa itu adalah wajah cita-cita kita. Namun sudahkah kita menghayati cita-cita kita itu? Lalu tahukah kita apa sebenarnya yang kita citakan? Seperti doa di atas. Kalau kebahagiaan akhirat rata-rata sudah jelas yakni surga dan segala kenikmatannya. Tapi apa makna kebahagian dunia?

CITA-CITA AKHIRAT
Bila Anda telah memiliki cita-cita dunia. Maka mari selanjutnya kita meraih cita-cita akhirat. Bagaimana tidak, sedangkan kita semua pasti akan mati. Dan yang terpenting adalah bagaimana kita mati dan mempersiapkan diri menghadapi kematian. Sebab, rasa mati itu sama, tapi sebabnya beragam, nilainya berbeda. Ada yang syahid karena taat, ada yang “sangit” karena gosong dalam bermaksiat. Ada yang mulia karena taqwa dan banyak yang hina karena angkara.

Cita-cita akhirat inilah puncak kita untuk beristirahat. Seperti kata Imam Ahmad saat ditanya kapan seorang mukmin beristirahat? “ saat ia menginjakkan kakinya di surga” Jawab beliau.

Lalu apa cita-cita akhirat yang bisa kita rintis? Berikut beberapa contoh obsesi yang mestinya kita miliki :
1.Proses meninggal tanpa sakratul maut yang membebani diri dan orang lain.
2.Tidak meinggal duni pada saat kejadian hari kiamat yang dahsyat.
3.Meninggal dunia saat berjihad di jalan Allah di medan pertempuran seperti yang dicita-citakan Khalid bin Walid.
4.Meninggal dunia saat melakukan amal-amal sholeh dan amal unggulan yang dirintisnya.
5.Meningal dunia tanpa memiliki hutang-hutang sehingga tidak memberatkan perhitungan di yaumil hisab.
6.Mendapatkan rahmat Allah di alam kubur seperti orang-orang yang gemar menghafal al-Qur'an, memberikan penerangan jalan dan banyak memakmurkan masjid Allah.
7.Mendapatkan syafa'at di padang mahsyar. Renungkan tentang tujuh golongan yang dinaungi Allah di hari kiamat, apakah kita masuk salah satunya.
8.Dimudahkan saat pengadilan akhir nanti.
9.Dimudahkan saat melewati shiratal mustaqim.
10.Ada keringanan siksa neraka.
11.Tidak terlalu lama berada di neraka.
12.Mendapatkan ampunan yang banyak atas berbagai dosa dan kesalahan.
13.Dapat berkumpul dengan keluarga di surga.
14.Bertemu lebih dekat dengan orang-orang sholeh.
15.Bertemu dengan Rasulullah dan orang-orang yang kita kagumi, yang belum sempat bertemu.
16.Melihat Wajah Allah di surga.

FOKUSKAN DIRI UNTUK MERAIH CITA
Kita mesti memiliki prioritas dan fokus dalam hidup kita. Fokuskan pada kekuatan, pada apa yang kita miliki untuk mampu mendahsyatkan potensi meraih prestasi. Seperti kaca pembesar yang mengumpulkan sinar pada satu titik untuk dapat membakar.

Mengapa fokus penting? Karena setiap kita memiliki kekhasan masing-masing. Contohnya Hasan bin Tsabit ia tak pandai melantunkan adzan, karena ia bukan Bilal. Khalid bin Walid tidak pintar membagi warisan karena ia memang bukan Zaid bin Tsabit yang pakar di bidang faraidh. Imam Sibawaih yang pakar Nahwu merasa gundah saat belajar ilmu hadits karena ia bukan Imam Bukhari yang siap berhari-hari menempuh perjalanan panjang demi mendapat hadits untuk diseleksi.

Kita mesti menyadari bahwa setiap kita memiliki keterbatasan-keterbatasan. Namun, di balik keterbatasan itulah tersimpan kelebihan. Bila kita berpikir positif, sesungguhnya dengan keterbatasan itulah seseorang bisa “bersyukur” untuk meledakkanya menjadi keluarbiasaan.

Kuncinya adalah selalu bersyukur sehingga selalu fokus pada apa yang dimiliki. Menikmati apa yang ada, bukan meratapi apa yang tiada atau hilang dari genggaman tangan kita. Kita tak selalu bisa mendapatkan apa yang kita inginkan, namun sesungguhnya kita dapat menikmati apa yang kita miliki. Karenanya fokuskan pada apa yang ada, jangan risau pada yang tiada. Bersyukurlah. (Al Bashirah Edisi 05 Tahun II Rubrik Tanmiyah)

Jumat, 25 September 2009

Karena Kita Harus Berubah!

Ini adalah sebuah kisah tentang semangat para hamba pemimpi surga. Sebab tabiat mimpi ini mengharuskan kita untuk terus berada dalam pusaran perubahan. Berubah dari yang baik ke arah yang semakin baik. Atau dalam bahasa yang sering kita dengarkan: “Hari ini jauh lebih baik dari yang kemarin”. Tidak sekedar berhenti pada: “Hari ini sama saja dengan yang kemarin”. Apalagi “Hari ini lebih buruk dari yang kemarin”.


Ibrahim al-Harby pernah bertutur tentang Imam Ahl al-Sunnah di zamannya, Imam Ahmad ibn Hanbal –semoga Allah merahmatinya-. Setelah bertahun-tahun lamanya Ibrahim al-Harby menyertai sang Imam, ia sampai pada sebuah titik untuk mengatakan: “Aku telah menyertai Ahmad ibn Hanbal selama 20 tahun lamanya(!), siang dan malam, di musim dingin dan semi, di musim panas maupun dingin, namun tidak sehari pun aku bersamanya, melainkan ia hari ini pasti lebih baik dari yang sebelumnya.”

Satu-satunya yang dapat kita pahami dari pitutur itu adalah: adanya sebuah proses change (perubahan) yang berkesinambungan dalam diri Sang Imam. Tidak dalam hitungan tahun, bulan atau minggu. Tetapi dalam hitungan hari! Ya, setiap hari selalu ada progress dan target tertentu dalam kehidupan Sang Imam untuk sampai pada titik kebaikan yang lebih tinggi dari sehari sebelumnya.

Sekarang marilah kita berbicara dalam tataran jamaah. Mungkin kita sudah sampai pada sebuah titik kesepakatan, bahwa kerja-kerja dakwah haruslah berjalan dalam sebuah proses sinergis keberjamaahan. Tapi sudah efektifkah keberjamaahan kita? Bersyukurlah kita jika keberjamaahan itu dibangun di atas manhaj yang haq: manhaj al-Salaf al-Shaleh. Tetapi tetap saja ada sunnatullah lain yang harus kita patuhi demi meraih kesuksesan kerja-kerja dakwah dalam bingkai keberjamaahan. Ini sama saja dengan sunnatullah korelasi prinsip keadilan dan keberhasilan sebuah negara yang pernah “digagas” oleh Ibnu Taimiyah beberapa abad yang lalu. Beliau pernah menegaskan bahwa sebuah negara yang kafir namun berkeadilan itu akan ditegakkan oleh Allah, sementara negara yang muslim namun tidak adil justru akan direndahkan oleh-Nya.

Intinya adalah bahwa keinginan untuk menjadi lebih baik sudah pasti menuntut kita untuk berubah. Dan kaitannya dengan kerja-kerja jamaah, perubahan itu sungguh berat untuk dilakukan. Mengapa? Karena melibatkan begitu banyak subjek sekaligus objek. Perubahan dalam sebuah jamaah harus berawal dari perubahan dalam tataran individu jamaah itu sendiri. Dan sudah tentu berawal dari mereka yang dianggap sebagai sang pemimpin.

Dalam Re-Code Your Change DNA (Rhenald.K, Februari 2007, hal. 18) disebutkan bahwa setidaknya ada 5 hal mendasar yang dibutuhkan untuk sebuah perubahan:

1. Vision, atau sebuah visi tentang masa depan. Apa jadinya sebuah jamaah yang tidak memiliki visi yang kuat tentang masa depannya? Para aktifisnya hanya dipacu bekerja dan bekerja, merespons semua yang ada secara reaktif tapi tidak efektif. Nampaknya dapat bekerja dengan cepat, tetapi sebenarnya tidak ada perubahan yang berarti selain pada pemimpinnya. Yang ada hanya sebuah kekacauan (confusion). Tidak ada kesatuan pikiran dan tindakan. Pancaran energi jamaah tidak terfokus, karena masing-masing komponen bergerak sendiri-sendiri tanpa arah dan visi yang seragam.

2. Skills, atau keterampilan untuk mampu melakukan tuntutan-tuntutan baru. Jenis keterampilan semacam ini harus ditumbuhkan. Jika sebuah jamaah tidak didukung oleh keterampilan yang memadai, maka yang adalah anxiety atau kecemasan-kecemasan. Sang pemimpin cemas akan kemampuan bawahan, sang bawahan cemas akan dirinya sendiri. Kecemasan semacam ini akan melahirkan stres, rumor (isu), kejengkelan, dan lain sebagainya. Untuk memperbaharui ini menjadi penting sekali untuk menanamkan “kode-kode perubahan” dalam kepala mereka.

3. Incentives, atau insentif yang memadai baik langsung maupun tidak langsung, cash atau non-cash. Perubahan menuntut pengorbanan, bahkan penderitaan. Tapi nyatanya ini sulit sekali diterapkan. Orang-orang seringkali bertanya: siapa yang harus berkorban? Menghapa harus saya? Apakah yang di atas juga siap berkorban? Tanpa adanya insentif, maka yang lahir adalah resistensi atau penolakan. Tuntutan perbaikan kinerja jamaah harus sejalan dengan perbaikan insentif mereka. Apakah ini berarti kerja jamaah harus berpikir ala perusahaan profesional? Mungkin ini poin yang harus direnungkan. Yang pasti antara keikhlasan berjuang dan profesionalisme bukanlah dua hal yang paradoks atau bertentangan.

4. Resources, atau sumber daya yang memudahkan perubahan dan pertumbuhan jamaah.

5. Action Plan, atau rencana tindakan. Ketika berbicara tentang rencana, kita mungkin sering hanya terjebak dalam “rencana strategis” dan melupakan “rencana tindakan” atau rencana yang berorientasi pada action kita. Jika dalam rencana strategis kita menetapkan arah dan tujuan jangka panjang, maka dalam rencana tindakan kita harus menulis perincian sasaran, waktu serta sumberdaya yang dibutuhkan. Ingatlah satu hal: kalau Anda gagal membuat rencana tindakan, maka Anda sedang merencakan untuk gagal!

Yang pasti adalah bahwa perubahan ke arah yang lebih baik menuntut pembelajaran yang berkelanjutan. Buka mata. Buka hati. Buka pikiran. All people have brain, but only few use their brain. Semua orang memiliki otak, namun hanya sedikit yang menggunakan pikiran mereka.
Terakhir, sesungguhnya Allah tidak akan merubah suatu kaum jika mereka merubah keadaan mereka sendir

Sabtu, 05 September 2009

Agar Tak Sekedar Lapar dan Haus

Ibadah puasa memiliki kedudukan tersendiri di sisi Allah سبحانه وتعلى Allah akan memberikan pahala yang berlipat ganda sesuai kualitas puasa yang dilakukan seorang hamba.



Semakin tinggi kualitas puasanya, semakin banyak pula pahala yang didapatnya, yaitu puasa yang tidak hanya sekadar manahan lapar dan dahaga. Puasa merupakan ibadah yang sangat dicintai oleh Allah سبحانه وتعلى. Hal ini sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah ÑÖí Çááå Úäå , bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,

ßõáøõ Úóãóáö ÇÈúäö ÂÏóãó íõÖóÇÚóÝõ ÇáúÍóÓóäóÉõ ÚóÔúÑõ ÃóãúËóÇáöåóÇ Åöáóì ÓóÈúÚöãöÇÆóÉö ÖóÚúÝò ÞóÇáó Çááåõ ÚóÒøó æóÌóáøó ÅöáÇøó ÇáÕøóæúãó ÝóÅöäøóåõ áöíú æóÃóäóÇ ÃóÌúÒöíú Èöåö íóÏóÚõ ÔóåúæóÊóåõ æóØóÚóÇãóåõ ãöäú ÃóÌúáöíú


"Setiap amalan anak Adam akan dilipatgandakan pahalanya. Satu kebaikan akan berlipat menjadi 10 kebaikan sampai 700 kali lipat. Allah  berkata, "Kecuali puasa, Aku yang akan membalas orang yang mengerjakannya, karena dia telah meninggalkan keinginan-keinginan hawa nafsu dan makannya karena Aku." (HR. Muslim).

Hadits di atas dengan jelas menunjukkan betapa tingginya nilai puasa. Allah سبحانه وتعلى akan melipatgandakan pahalanya bukan sekadar 10 atau 700 kali lipat, namun akan dibalas sesuai dengan keinginan-Nya. Padahal kita tahu bahwa Allah سبحانه وتعلى Maha Pemurah, maka tentu Allah akan membalas pahala orang yang berpuasa dengan berlipat ganda.

Akan tetapi, bisa jadi ada orang yang berpuasa, namun tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali hanya lapar dan haus. Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda,


ÑõÈøó ÕóÇÆöãò ÍóÙøõåõ ãöäú ÕöíóÇãöåö ÇáúÌõæúÚõ æóÇáúÚóØóÔõ æóÑõÈøó ÞóÇÆöãò ÍóÙøõåõ ãöäú ÞöíóÇãöåö ÇáÓøóåóÑõ



"Berapa banyak orang yang berpuasa, hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja, dan berapa banyak orang yang mendirikan ibadah di malam hari, tapi hanya mendapatkan begadang saja." (HR. Ahmad)

Dan di antara penyebabnya adalah:
1. Berpuasa Hanya Ikut-ikutan
Setiap Muslim harus membangun ibadah puasanya di atas iman kepada Allah سبحانه وتعلى dalam rangka mengharapkan ridha-Nya, bukan karena ingin dipuji atau sekadar ikut-ikutan keluarganya atau masyarakatnya yang sedang berpuasa. Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,

ãóäú ÕóÇãó ÑóãóÖóÇäó ÅöíúãóÇäðÇ æóÇÍúÊöÓóÇÈðÇ ÛõÝöÑó áóåõ ãóÇ ÊóÞóÏøóãó ãöäú ÐóäúÈöåö



"Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah سبحانه وتعلى, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (Muttafaqun 'alaih).

2. Berpuasa Tapi Meninggalkan Shalat
Di antara umat Islam, ada yang begitu semangat mengerjakan ibadah puasa di bulan Ramadhan, akan tetapi mereka meninggalkan shalat. Ketika ditanya, "Mengapa Anda berpuasa tapi meninggalkan shalat?" Mereka menjawab, "Saya juga ingin dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang masuk surga melalui pintu Ar-Rayyan. Bukankah Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah bersabda, "Sesungguhnya di surga terdapat pintu bernama ar-Rayyan, di mana orang-orang yang berpuasa masuk lewat pintu itu pada hari kiamat. Tidak ada seorang pun yang masuk dari situ selain mereka (orang yang berpuasa) dan jika mereka telah masuk, maka pintu itu ditutup." (HR. Bukhari dan Muslim).

Dan bukankah antara Ramadhan dengan Ramadhan berikutnya adalah penghapus dosa-dosa?"
Yah, Rasulullah صلى الله عليه وسلم memang telah berkata demikian. Tapi mereka tidak mengetahui—atau pura-pura tidak tahu—kelanjutan dari hadits ini.


ÑóãóÖóÇõä Åöáóì ÑóãóÖóÇäó ãõßóÝøöÑóÇÊñ ãóÇ Èóíúäóåõäøó ÅöÐóÇ ÇÌúÊõäöÈóÊö ÇáúßóÈóÇÆöÑõ



"Antara Ramadhan ke Ramadhan berikutnya adalah penghapus dosa-dosa antara keduanya apabila dosa-dosa besar dijauhi." (HR. Muslim).

Jadi Rasulullah صلى الله عليه وسلم mempersyaratkan dijauhinya dosa-dosa besar. Sedangkan mereka justru meninggalkan shalat. Apakah mereka menganggap dosa meninggalkan shalat adalah dosa sepele? Para shahabat  memandang orang yang meninggalkan shalat hukumnya kafir.

Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,


ÇáúÚóåúÏõ ÇáøóÐöí ÈóíúäóäóÇ æóÈóíúäóåõãú ÇáÕøóáÇóÉõ Ýóãóäú ÊóÑóßóåóÇ ÝóÞóÏú ßóÝóÑó



"Perjanjian antara kami dan mereka adalah shalat, barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir" (HR. Ahmad dan para penulis kitab Sunan).
Dan sebagaimana diketahui bahwa orang kafir tidak diterima amalannya.



Allah سبحانه وتعلى berfirman, (artinya):

"Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka tidak mengerjakan shalat, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan." (QS. At-Taubah: 54).

Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,


Åöäøó Ãóæøóáó ãóÇ íõÍóÇÓóÈõ Èöåö ÇáúÚóÈúÏõ ÈöÕóáóÇÊöåö ÝóÅöäú ÕóáóÍóÊú ÝóÞóÏú ÃóÝúáóÍó æóÃóäúÌóÍó æóÅöäú ÝóÓóÏóÊú ÝóÞóÏú ÎóÇÈó æóÎóÓöÑó



"Sesungguhnya amalan yang paling pertama yang akan dihisab atas seorang hamba dari amalan-amalannya pada hari kiamat kelak adalah shalatnya. Apabila shalatnya baik, maka sungguh ia telah bahagia dan berhasil. Akan tetapi, jika shalatnya buruk, maka sungguh ia telah binasa dan merugi." (HR. Nasai)

Karena itu sudah sepantasnya seorang yang meninggalkan shalat menjadikan Ramadhan sebagai moment yang tepat baginya untuk bertaubat dan melaksanakan shalat secara kontinu baik di bulan yang suci ini maupun di bulan-bulan lainnya.

3. Melakukan Hal-hal atau Kegiatan-kegiatan yang Mengundang Syahwat
Seseorang yang berpuasa lalu mengeluarkan mani tanpa berhubungan badan baik lewat onani atau pun hal-hal lain yang memancing syahwatnya seperti menonton atau bacaan-bacaan porno maka puasanya pada hari itu batal dan diwajibkan atasnya untuk mengqadhanya (mengganti puasa yang batal tersebut) pada hari lain setelah Ramadhan.
Syaikh Shalih Al Utsaimin—rahimahullah—mengatakan bahwasanya seseorang yang bermimpi basah pada saat berpuasa maka tidak ada sanksi baginya, karena mani yang keluar bukan atas keinginannya, bahkan keluarnya mani tersebut tanpa ia sadari, sedangkan bagi yang sengaja mengeluarkan mani dengan onani, maka sesungguhnya ia berdosa besar kepada Allah سبحانه وتعلى, sehingga hal itu menyebabkan puasanya batal dan wajib baginya untuk mengqadha dan bertaubat dengan benar (Lihat Majâlis Syahri Ramadhân hal:160).

4. Tidak Menjaga Lidah
Seseorang yang sedang berpuasa hendaknya bersabar untuk menahan diri dan tidak membalas kejelekan yang ditujukan kepadanya. Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,

óÇáÕøöíóÇãõ ÌõäøóÉñ ÝóÅöÐóÇ ßóÇäó íóæúãõ Õóæúãö ÃóÍóÏößõãú ÝóáóÇ íóÑúÝõËú íóæúãóÆöÐò æóáóÇ íóÓúÎóÈú ÝóÅöäú ÓóÇÈøóåõ ÃóÍóÏñ Ãóæú ÞóÇÊóáóåõ ÝóáúíóÞõáú Åöäøöí ÇãúÑõÄñ ÕóÇÆöãñ



"Puasa adalah perisai, maka apabila salah seorang dari kalian sedang berpuasa, maka janganlah ia berkata kotor dan janganlah bertengkar dengan mengangkat suara. Jika dia dicela dan disakiti, maka katakanlah, 'saya sedang berpuasa'." (HR. Muslim).
Rasulullah صلى الله عليه وسلم juga telah bersabda,

ãóäú áóãú íóÏóÚú Þóæúáó ÇáÒøõæÑö æóÇáúÚóãóáó Èöåö ÝóáóíúÓó áöáøóåö ÍóÇÌóÉñ Ýöí Ãóäú íóÏóÚó ØóÚóÇãóåõ æóÔóÑóÇÈóåõ



“Barangsiapa yang tidak meninggalkan kata 'zuur' dan beramal dengannya maka tidak ada keperluan bagi Allah untuk memberinya ganjaran pahala terhadap makanan dan minuman yang ia tinggalkan (puasanya).” (HR. Bukhari dan Muslim).



Lalu apakah yang dimaksud dengan kata-kata zuur ? Imam Ath-Thibi menjelaskan hadits ini, “Kata-kata zuur adalah kata-kata bohong dan dusta, yaitu barangsiapa yang tidak meninggalkan kata-kata yang batil baik ia berupa kata-kata yang mengandung kekufuran, saksi palsu, memfitnah, menceritakan kejelekan orang lain (ghibah), berdusta, menuduh, mencela, melaknat dan semisalnya dari perkataan-perkataan yang diwajibkan atas setiap orang untuk menjauhinya dan diharamkan baginya untuk melakukannya”. (Lihat. Tuhfatul Ahwadzi 3:320). Wallohul Hâdî Ilâ Sawâ-is Sabîl (Al Fikrah)

Rabu, 02 September 2009

FADHILAH MEMPELAJARI HADIST RASULULLAH

FADHILAH MEMPELAJARI HADITS RASULULLAH

Hadits adalah salah satu sumber hukum syariat Islam dan merupakan salah satu wahyu dari Allah

I :

) وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْـهَوَى إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْىٌ يُّوْحَى ( ( النجم : 3-4 )

Artinya : “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” (An Najm : 3-4)

Sabda Rasulullah r : (( ألا إنى أوتيت القرآن و مثلـه معه ))

“Ketahuilah sesungguhnya telah diturunkan kepadaku Al Qur’an dan yang semisal dengannya (As Sunnah)” (HSR. AbuDawud, Tirmidzy, Ahmad dan Hakim)

Karena dia merupakan salah satu sumber hukum maka wajib atas kita untuk mempelajarinya dan berpegang teguh padanya.

Beberapa fadhilah/ keutamaan mempelajari hadits :

1. Wajah para penuntut ilmu hadits cerah/ berseri-seri.

Sabda Rasulullah r :

(( نضر الله امرءاً سمع مقالتى فوعاها وحفظها و بلغها فـإنه رب حـامل فقه غير فقيه ، ورب

حامل فقه إلى من هو أفقه منه )) رواه الترمذى و ابن حبان

“Mudah-mudahan Allah menjadikan berseri-seri wajah orang yang mendengarkan perkataanku lalu memahaminya dan menghafalkannya kemudian dia menyampaikannya, karena sesungguhnya boleh jadi orang yang memikul (mendengarkan) fiqh namun dia tidak faqih (tidak memahaminya) dan boleh jadi orang yang memikul (mendengarkan) fiqh menyampaikan kepada yang lebih paham darinya” (HSR. At Tirmidzy dan Ibnu Hibban dari shahabat Abdullah bin Mas’ud t ).

Berkata Sufyan bin ‘Uyainah رحمه الله : “Tidak seorang pun yang menuntut / mempelajari hadits kecuali wajahnya cerah / berseri-seri disebabkan doa dari Nabi r (di hadits tersebut)”

2. Para penuntut ilmu hadits adalah orang yang paling bershalawat kepada Nabi

Sabda Rasulullah r :

(( من صلى علىّ صلاة واحدة صلى الله عليه بـها عشراً ))

“Barang siapa yang bershalawat kepadaku satu kali maka Allah bershalawat kepadanya sepuluh kali”.

Berkata Khatib Al Baghdadi رحمه الله : Berkata Abu Nu’aim رحمه الله kepada kami : “Keutamaan yang mulia ini terkhusus bagi para perawi dan penukil hadits, karena tidak diketahui satu kelompok di kalangan ulama yang lebih banyak bershalawat kepada Rasulullah r dari mereka, baik itu (shalawat) berupa tulisan ataupun ucapan”.

Kata Sufyan Ats Tsaury رحمه الله : “Seandainya tidak ada faidah bagi shohibul hadits kecuali bershalawat kepada Rasulullah r (maka itu sudah cukup baginya) karena sesungguhnya dia selalu bershalawat kepada Nabi r selama ada di dalam kitab”.

Berkata Al ‘Allamah Shiddiq Hasan Khan رحمه الله – setelah beliau menyebutkan hadits yang menunjukkan keutamaan bershalawat kepada Nabi r : “Dan tidak diragukan lagi bahwa orang yang paling banyak bershalawat adalah ahlul hadits dan para perawi As Sunnah yang suci, karena sesungguhnya termasuk tugas mereka dalam ilmu yang mulia ini (Al Hadits) adalah bershalawat di setiap hadits, dan senantiasa lidah mereka basah dengan menyebut (nama) Rasulullah r …. maka kelompok yang selamat ini dan Jama’ah Hadits ini adalah manusia yang paling pantas bersama Rasulullah r di hari kiamat, dan merekalah yang paling berbahagia mendapatkan syafa’at Rasulullah r …. maka hendaknya anda wahai pencari kebaikan dan penuntut keselamatan menjadi seorang Muhaddits (Ahli Hadits) atau yang berusaha untuk itu”.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan bagi penuntut ilmu hadits tentang shalawat :

1. Tidak boleh seorang penuntut ilmu hadits bosan dan jemu dengan seringnya bershalawat kepada Nabi r, karena itulah letak keutamaan penuntut ilmu hadits.

2. Bershalawat hendaknya dipadukan antara tulisan dan ucapan.

3. Tidak boleh menyingkat ketika menuliskan shalawat kepada Nabi r.

Imam As Syuyuti رحمه الله dalam Tadribur Rasul mengkhabarkan bahwa orang yang pertama kali mengajarkan (mencontohkan) penyingkatan shalawat dijatuhi hukuman potong tangan.

4. Mempelajari hadits memberikan manfaat dunia dan akhirat.

Kata Sufyan Ats Tsaury رحمه الله : “Saya tidak mengetahui amalan yang afdhal di muka bumi ini dari mempelajari hadits bagi yang menginginkan dengannya wajah Allah I “.

5. Mempelajari dan meriwayatkan lebih afdhal dari berbagai macam ibadah-ibadah sunnat.

Berkata Waki bin Al Jarrah رحمه الله : “Seandainya (meriwayatkan) hadits tidak lebih afdhal dari bertasbih tentu saya tidak meriwayatkannya”.

Berkata Sulaiman At Taymy رحمه الله : “Kami pernah duduk di sisi Abu Mijlas رحمه الله dan beliau membacakan hadits kepada kami, lalu berkata salah seorang (dari kami) : Seandainya engkau membacakan surat dari Al Qur’an”. Maka berkata Abu Mijlas : “Apa yang kita lakukan sekarang ini bagiku tidaklah kurang fadhilahnya dari membaca ayat Al Qur’an”.

Berkata Abu Ats Tsalj رحمه الله : Saya bertanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal رحمه الله : “Wahai Abu Abdillah, yang mana lebih kau sukai : seorang menulis hadits atau dia berpuasa sunnat dan shalat sunnat ?”. Beliau menjawab : “Menulis hadits”.

Berkata Al Khatib Al Baghdady رحمه الله : “Mempelajari hadits pada zaman ini lebih afdhal dari seluruh ibadah-ibadah yang sunnat, disebabkan telah hilang sunnah dan orang tidak bergairah lagi dari mengerjakannya serta munculnya bid’ah-bid’ah lalu mereka (para ahli bid’ah) yang berkuasa mendominasi sekarang ini”.