Social Icons

Pages

Senin, 14 Desember 2009

MENJELEK-JELEKKAN SATU SAMA LAIN DAN MENJAUHKAN/MEMPERINGATKAN MANUSIA TERHADAP PENUNTUT ILMU

Oleh

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin

Pertanyaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ditanya: ”Bolehkah sebagian penuntut ilmu membiasakan: Menjelek-jelekkan satu sama lain serta menjauhkan dan memperingatkan manusia terhadap (penuntut ilmu) yang lain?”


Jawaban.

Yang jelas perbuatan menjelek-jelekkan (jarh) oleh para ulama satu sama lain adalah perbuatan haram, bila seseorang tidak boleh menggibah saudaranya mukmin walaaupun bukan orang alim, maka bagaimana boleh menggibah saudara-saudaranya yang beriman dari kalangan ulama??!

Kewajiban insan mukmin adalah menahan lisannya dari menggibah saudara-saudaranya mukmin. Alloh Ta’ala berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman,jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Alloh Ta’ala. Sesungguhnya Alloh Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (al-Hujurat: 12)

Hendaknya orang yang di timpa penyakit seperti ini (ghibah-pen) mengetahui bahwa jika ia menjarh seorang alim maka itu akan menjadi sebab ditolaknya kebenaran yang diucapkan oleh sang alim ini. Dan hendaknya dia juga mengetahui bahwa orang yang men-jarh seorang alim maka ia (sebenarnya) tidak men-jarh pribadinya, karena sesungguhnya ia telah menjelek-jelekkan warisan Rasulullah ,karena sesungguhnya para ulama itu adalah pewaris para Nabi. Maka apabila para ulama telah dijarh dan di “tikam” maka manusia tidak lagi akan mempercayai ilmu yang mereka miliki; yang merupakan warisan dari Rasulullah. Dan ketika itu, merekapun tidak lagi mempercayai syari’at yang dibawa oleh sang alim yang telah di-jarh tersebut.

Dan saya tidak mengatakan bahwa setiap alim itu ma’shum (bersih dari kesalahan), karena setiap insan dapat terjatuh dalam kesalahan. Jika anda melihat kesalahan seorang alim menurut keyakinan anda, lalu anda menghubunginya dan mencoba saling memahamkan, jika ternyata yang haq adalah dia, anda wajib menerimanya. Dan jika anda menemukan perkataannya ternyata salah maka wajiblah anda membantah dan menjelaskan kesalahannya, karena mendiamkan kesalahan tidak diperbolehkan. Akan tetapi anda jangan men-jarhnya sementara dia adalah seorang alim yang di kenal dengan niat baiknya. Dan jika memungkinkan anda mengatakan: “Sebagian orang mengatakan begini dan begini padahal pendapat ini adalah lemah.” Kemudian anda menjelaskan sisi kelemahannya dan kebenaran pendapat yang anda lihat, (maka) ini tentu lebih baik dan utama.

Dan jika ingin men-jarh para ulama yang dikenal dengan niat baiknyadisebabkan terpeleset dalam suatu kesalahan masalah agama, maka kita pasti akan men-jarh para ulama besar. Namun yang wajib (dilakukan) adalah seperti yang saya sebutkan. Bila anda melihat kesalahan dari seorang alim maka diskusikanlah dengannya. Jika anda yang benar maka dia harus mengikuti anda. Atau jika ternyata tidak jelas (pendapat yang benar) dan khilaf yang terjadi adalah khilaf yang dibenarkan maka saat itu anda harus menahan diri dan biarlah ia mengatakan pendapat yang ia katakan dan anda pun mengatakan pendapat yang anda katakan.

Khilaf itu terjadi bukan pada masa ini saja, bahkan telah terjadi sejak masa sahabat hingga hari ini. Namun jika telah jelas yang salah akan tetapi ia tetap bersikeras membela pendapatnya, maka anda wajib memperingatkan kesalahan tersebut, bukan atas dasar menjatuhkan orang itu dan keinginan balas dendam, sebab mungkin ia mengatakan perkataan yang benar pada masalah lain selain yang anda diskusikan.

Yang penting saya menasehati saudara-saudarku untuk menjauhi musibah dan penyakit ini (meng-ghibah dan men-jarh -pen), saya mohon kepada Alloh Ta’ala untuk diri saya dan mereka kesembuhan dari segala sesuatu yang dapat membuat kita tercela atau mencelakan kita dalam agama dan dunia kita.

(Kitab “Ash-Shahwah al-islamiyah “ Edisi Indonesia” Panduan kebangkitan Islam” Syaikh Muhammad Shalih al-Utsaimin BAB VII “Perbedaan pendapat (khilaf) di Kalangan Ulama, Menuduh dan Merendahkan Para Dai. Hal. 239-241 Darul Haq)

0 komentar:

Posting Komentar