Social Icons

Pages

Senin, 03 Mei 2010

TRAGEDI MUT’AH DI BULAN KARTINI

Haedar Bazargan


Bulan April merupakan bulan yang spesial bagi sebagian wanita Indonesia. Pada setiap tanggal 21 April wanita negeri ini mengenang perjuangan RA. Kartini. Tokoh Kartini dijadikan simbol perjuangan untuk mendapatkan hak-hak dan martabat yang seharusnya bagi perempuan.



Dengan kesadaran Kartini, kita diharapkan menghormati ibu, saudari, dan segenap perempuan. Bahwa mereka, seperti halnya laki-laki, memiliki hak yang wajib diberikan. Akses terhadap pendidikan, kesehatan, sumber daya ekonomi, hak politik dan lain sebagainya tidak mengenal pembedaan jender. Selama hal itu tidak menyalahi ajaran agama dan kodrat alamiah masing-masing jenis kelamin.

Namun, apa lacur. Bulan yang diharapkan menjadi momentum untuk lebih menghargai peran perempuan dan memberdayakan wanita menjadi keruh oleh upaya memasarkan sebuah doktrin pelecehan wanita yang, naifnya, disematkan kepada ajaran agama/sekte tertentu.

HABIS MANIS SEPAH DIBUANG!
Adalah mut’ah, praktek yang sangat merendahkan martabat wanita. Mut’ah adalah proses “pernikahan” yang hanya melibatkan seorang laki-laki dan korbannya: perempuan. Sang lelaki cukup menyerahkan “ajr” (upah!) tertentu kepada perempuan agar yang kedua menyerahkan mahkotanya. Nominal ajr akan ditentukan oleh lama kontrak yang diinginkan lelaki. Sebab, “pernikahan” ini memang sangat tidak lazim. Ada batas waktu dimana setelah itu, perempuan akan dicampakkan begitu saja.

Jelas terlihat betapa posisi perempuan sangat terpojok. Bila si lelaki hidung belang lihai dalam proses tawar-menawar, perempuan akan semakin tertindas. Secara licik, ia dapat saja mengontrol harga, terutama jika si perempuan dalam posisi lemah.

Maklum, dalam mut’ah tak ada orang ketiga yang boleh terlibat. Tidak ada wali yang dapat membela hak perempuan, sebagaimana lazimnya pernikahan normal.

Tidak sampai di situ diskriminasi terhadap perempuan terjadi. Bila si perempuan ternyata hamil hingga melahirkan anak, ia tak akan mendapatkan jaminan apa-apa. Ia tidak berhak memperoleh nafkah untuk dirinya dan janin itu. Justru ketika perempuan hamil itu seharusnya mendapatkan perhatian dan perawatan yang layak.

Hatta setelah anak itu kelak lahir dan dibesarkan, si laki-laki akan tetap bebas dan tidak dibebani apapun. Ia tidak wajib memberi nafkah kepada anak itu dan ibunya. Toh, ajr sudah lunas di muka! Akibatnya, perempuanlah yang harus menanggung semuanya.

Penelantaran terhadap nasib si perempuan berlanjut sampai laki-laki meninggal. Walau terbukti bahwa seorang perempuan pernah dinikahi mut’ah, ia tidak dapat menuntut warisan terhadap harta dari laki-laki yang pernah menikahinya. Vonis ini berlaku pula bagi si anak yang notabene anak sah secara biologis dari si laki-laki.

DALIH AGAMA DI BALIK DISKRIMINASI WANITA
Yang lebih memiriskan hati, praktek ini biasa dipromosikan oleh orang-orang yang berlabel tokoh agama. Akibatnya, mut’ah tidak jarang dicoba untuk dikait-kaitkan dengan ajaran agama. Sangat jelas tampak sikap superioritas dan bias kecenderungan nafsu laki-laki di dalamnya.

Tanpa rasa bersalah dan dengan berlagak sok suci, kelompok laki-laki itu kerap mengutip ungkapan-ungkapan yang mereka sangka bisa menutupi topeng keserakahan mereka.

Tentu tidak termasuk di dalamnya tokoh-tokoh agama yang tulus. Yang berani menyatakan kebenaran, walaupun itu berarti menentang sebuah tradisi yang mungkin terlanjur melembaga.

Sayid Husain al-Musawi, adalah salah satu contohnya. Ia deserse dari sekte Syi’ah, agama yang sangat getol memasarkan mut’ah kepada generasi muda demi misi penyebaran ideologi Syi’ah.

Al-Musawi yang lahir di Irak dan belajar di Najaf menuliskan kesaksiannya tentang tokoh-tokoh agama Syi’ah di Najaf. Mereka, kata al-Musawi, melakukan mut’ah setiap hari dengan banyak wanita. Semua itu dapat mereka lakukan dengan dalih ajaran agama.

Potensi pelecehan terhadap perempuan tidak terbatas kepada yang sudah dewasa. Anak perempuan yang masih balita pun dapat direnggut dengan doktrin mut’ah.

Al-Musawi, mantan murid senior Khomeini, menceritakan pengalamannya lebih lanjut. Ia pernah melakukan perjalanan bersama Khomeini, gurunya, yang melewati kota Baghdad. Mereka kemudian singgah bermalam di rumah seorang asli Iran bernama Sayid Syahib.

Berikut ini, kesaksian al-Musawi lebih lanjut:
“Ketika tiba saatnya untuk tidur dan orang-orang yang hadir sudah pada pulang kecuali tuan rumah, Imam Khomeini melihat anak perempuan yang masih kecil, umurnya sekitar empat atau lima tahun, tetapi dia sangat cantik. Imam meminta kepada bapaknya, yaitu Sayid Syahib untuk menghadirkan anak itu kepadanya agar dia melakukan mut’ah dengannya. Maka si bapak menyetujuinya dan dia merasa sangat senang. Lalu Imam Khomeini tidur dan anak perempuan ada di pelukannya, sedangkan kami mendengar tangisan dan teriakannya!”

LAWAN EKSPLOITASI WANITA
Dengan asas tunggal Syi’ahnya, Iran menjadi pusat mut’ah dunia. Negeri yang giat mempromosikan revolusinya ke seluruh dunia ini memang merupakan surga bagi pelaku mut’ah. Mut’ah yang dipromosikan secara terbuka memang memancing setiap laki-laki hidung belang yang merindukan kenikmatan sesaat yang tidak terikat tanggung jawab dan legal secara hukum. Cukup dengan modal ajr, ia dapat menikmati siapapun perempuan yang dia inginkan.

Tapi, bukan berarti topeng agama dan hukum yang diskriminatif itu menyelesaikan masalah. Iran harus menghadapi akibatnya sendiri. Di tahun 1994, Republika (26/7) melaporkan sekitar 5000 orang yang tercatat sebagai penderita AIDS di Iran. Dari jumlah itu, hampir seratusan orang yang telah melayang nyawanya. Yang lebih memilukan lagi, laporan majalah as-Shira’ yang terbit di Teluk. Majalah itu menambahkan laporan adanya 250 ribu anak yang terlantar tanpa bapak. Di negara yang sangat tertutup seperti Iran, jumlah itu baru laporan resmi yang terekspos. Selalu ada laporan tidak resmi dengan penghitungan yang sering lebih drastis.

Eksploitasi tanpa batas dan ajaran yang merendahkan martabat perempuan itu akhirnya mendapatkan perlawanan. Kendati banyak dibungkam dengan fatwa-fatwa dari kelompok agamawan yang konservatif. Apalagi didukung payung konstitusi yang melindungi status quo.

Adalah Fatimah Karroubi, pejuang hak-hak wanita yang merupakan putri politikus Mahdi Karroubi yang beraliran modernis. Ia menjadi salah satu wanita Iran yang aktif melakukan pencerahan dan mobilisasi politik menentang mut’ah yang dibungkus paham agama itu.

Seorang perempuan intelektual dan penulis produktif lain, Dr. Syahla Ha’iri, secara berani juga menerbitkan laporan yang menghentak dunia. Ia melakukan wawancara panjang dan berbagai survey langsung di Iran, terutama terhadap para korban. Ia juga melakukan analisis mendalam terhadap dalih-dalih agamawan pro-mut’ah yang memang semua laki-laki.

Realitas praktek mut’ah di Iran dari tahun 1978-1982 itulah yang Ha’iri suarakan ke seluruh perempuan dunia. Judul bukunya: al-Mut’ah: az-Zawaj al-Mu’aqqat ‘indas Syi’ah (Mut’ah: Kawin Tempo versi Syi’ah). Pesannya jelas: agar perempuan tak perlu lagi terlena oleh doktrin agamawan palsu yang dengan dalih agama melecehkan harkat dan martabat wanita.

Andai RA. Kartini hadir menyaksikan bagaimana mut’ah dewasa ini dijual kepada kaum wanita Indonesia, tentu ia pun akan melawan. Sebab, cita-cita luhur Kartini adalah mengeluarkan perempuan Indonesia “minaz zhulumat ilan nuur” (door duisternis tot licht/dari gelap kepada cahaya:)

0 komentar:

Posting Komentar