Social Icons

Pages

Selasa, 07 Juni 2011

Kesederhanaan, kunci keberhasilan

Kesederhanaan merupakan kunci keberhasilan sebuah kerja panjang. Dengan berpikir serta bekerja secara sederhana, manusia akan mampu menyelesaikan sebuah program hidup jangka panjang yang melelahkan. Hal ini tidak lain kerana kesederhanaan akan melahirkan konsistensi dan keistiqomahan dalam beramal.


Kalau anda mengikuti perkembangan berita nasional beberapa tahun belakangan ini, anda akan menemukan beberapa kasus kapal laut tenggelam di perairan republik tercinta kita. Kalau anda cermati lebih detail, anda akan menemukan fakta bahwa faktor utama terjadinya kasus-kasus tersebut, adalah over load atau kelebihan muatan.

Saat masih berlabuh di dermaga, penanggung jawab perjalanan dengan sengaja menaikan muatan barang melebihi kapasitas, dengan asumsi bahwa perjalanan akan lancar tanpa badai. Namun,

di tengah perjalanan ternyata prediksi tadi salah total. Cuaca tiba-tiba berubah menjadi tidak bersahabat dan ombak-ombak ganas pun menerkam kapal tanpa ampun. Kemudian terjadilah peristiwa-peristiwa naas tersebut. Padahal, kalau saja penanggung jawab perjalanan mematuhi aturan kapasitas maksimal tadi, tentu kapal akan bisa bertahan dalam cuaca apapun.



Atau mungkin juga sekali dua kali kapal yang over load berhasil selamat sampai tujuan. Lantas keberhasilan yang sekali dua kali ini membuat penanggung jawab tadi menciptakan standar operasi baru dengan mengacuhkan batas kapasitas angkut maksimum kapal. Namun yang namanya mesin, bila dipaksa kerja di luar batas kemampuan tentu akan berdampak pada menurunya kapabilitas mesin itu sendiri. Dengan kinerja mesin telah menurun, kapal tidak mampu lagi bertahan ketika menghadapi kondisi kritis akibat amukan samudra.

Itulah refleksi kecil tentang pentingnya kesederhanan. Hilangnya sikap sederhana dalam berpikir dan beramal berdampak negatif bagi kelangsungan sebuah pekerjaan. Andai penanggung jawab perjalanan tadi berpikir sederhana, tidak muluk-muluk dan bekerja sesuai dengan batas kemampuan, tentu kelangsungan hidup kapal tadi bisa dipertahankan.

Hal serupa juga berlaku dalam perjalanan religius seorang muslim. Kesederhanaan merupakan unsur vital yang sangat diperlukan guna menjamin kelestarian amal saleh. Laksana kapal laut tadi, jiwa raga manusia memiliki batas kemampuan maksimal dalam beramal. Apabila jiwa raga ini dipaksa beramal diluar kapasitas, nasibnya tidak akan jauh berbeda dengan kapal-kapal tadi. Mungkin saja sekali atau dua kali dia sanggup beramal melebihi batas kapasitas. Namun itu tidak akan berlangsung lama, karena fluktuasi (pasang surut) keimanan manusia, perlahan tapi pasti, akan segera mengikis semangatnya.

Berapa banyak kita saksikan seseorang yang dahulu memenuhi hari-harinya dengan segudang aktivitas ibadah, namun tidak lama kemudian amalan itu mati seketika, terhenti, dan seolah tak pernah ada. Tidak sedikit kita mendapati seorang pelajar (tholibul ‘ilmi) menyibukan diri setiap waktu dengan rentetan aktivitas ilmiah, tapi sayang semua itu berhenti tiba-tiba tanpa bekas. Atau dai yang memeriahkan hari-harinya dengan sederet kegiatan dakwah, tetapi kemudian hilang, tenggelam, dan nyaris tak terdengar.

Faktor pemicu terbesar munculnya berbagai fenomena di atas adalah hilangnya kesederhanan dalam berpikir dan bertindak. Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam- menyinggung hal ini dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah,



« إنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنُ إلا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأبْشِرُوا، وَاسْتَعِينُوا بِالغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ » . رواه البخاري . وفي رواية لَهُ: «القَصْدَ القَصْدَ تَبْلُغُوا».



«إنَّ الدِّينَ يُسْرٌ ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنُ إلا غَلَبَهُ»

maknanya, “Agama ini mudah. Siapapun yang mempersulit diri dalam menjalankan agama ini, pasti akan kalah.” Penggalan sabda beliau ini mengisyaratkan bahwa kesuksesan dalam mengimplementasikan agama Allah ta'ala dalam setiap sendi kehidupan, hanya dapat diraih oleh pribadi yang berpikir dan bekerja dengan penuh kesederhanaan. Sebaliknya, kegagalan akan senantiasa menyeratai pribadi yang “ngoyo” (bahasa jawa) alias mempersulit diri.

Jangan sok kuat dengan mengatakan, “Ana insya Allah bisa konsisten memaksakan diri dalam amal salih.” Sahabat Abdullah bin ‘Amr bin A’sh jauh lebih salih dan lebih bersemangat dalam beramal salih dibandingkan “amatiran” macam kita. Namun begitu, beliau sempat menyesal pernah memaksakan diri dalam berpuasa.

Begini ceritanya. Suatu hari beliau pernah berazam untuk mengerjakan puasa sepanjang tahun, dan mendirikan shalat sepanjang malam seumur hidup. Saat kabar itu sampai ke telinga Rasulullah -Sholallahu 'alaihi wassalam-, beliau pun menyuruhnya untuk mengahadap.

“Apa benar engkau berazam untuk mengerjakan puasa sepanjang tahun, dan mendirikan shalat sepanjang malam seumur hidup ?”, tanya Rasulullah -Sholallahu 'alaihi wassalam- kepada Abdullah.

“Benar, wahai Rasulullah. Aku memang berazam demikian.” Jawab Abdullah.

“Engkau tidak akan mampu melakukannya. Berpuasalah, tapi jangan tinggalkan berbuka. Shalatlah tahajud, tapi jangan tinggalkan tidur. Berpuasalah sebanyak tiga hari setiap bulannya. Setiap kebaikan itu akan dilipat gandakan pahalanya sebanyak sepuluh kali lipat, jadi pahala puasa itu sama dengan puasa sepanjang tahun.”, nasehat Rasulullah -Sholallahu 'alaihi wassalam- kepada beliau.

Namun beliau berkata, “Tapi, aku masih mampu berpuasa lebih banyak dari itu.”

“Kalau begitu, berpuasalah sehari lalu berbukalah dua hari.”, ujar Rasulullah -Sholallahu 'alaihi wassalam-.

“Tapi, aku masih mampu berpuasa lebih banyak dari itu.”, tawar beliau untuk kedua kalinya.

“Kalau begitu, berpuasalah sehari lalu berbukalah sehari. Itulah puasanya nabi Daud dan itulah puasa yang paling utama.”, jawab Rasulullah -Sholallahu 'alaihi wassalam-.

“Tapi, aku masih mampu berpuasa lebih banyak dari itu.”, tawar beliau untuk ketiga kalinya.

“Tidak ada yang lebih utama selain puasa nabi Daud.” Jawab Rasulullah -Sholallahu 'alaihi wassalam-. (HR. Bukari dan Muslim)

Namun di penghujung umur, saat kapabilitas fisik menurun drastis, kinerja organ-organ tubuh semakin butuh akan asupan gizi, dan puasa terasa menjadi sangat berat dan sulit, beliau menyesal karena telah mempersulit diri dengan puasa yang berat itu dan berangan-angan andai saja dahulu beliau menerima nasehat Rasulullah -Sholallahu 'alaihi wassalam- yang pertama atau yang kedua.

Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari bahwa ketika lanjut usia, Abdullah berujar, “Andai saja aku dulu menerima keringanan yang diberikan Rasulullah -Sholallahu 'alaihi wassalam-.” (Thobaqot ibnu Sa’ad)

« سَدِّدُوا وَقَارِبُوا »

Maknanya, “Berusahalah untuk selalu mengikuti kebenaran dan berupayalah untuk senantiasa mengerjakan amal salih sesempurna mungkin.”



Rasulullah -Sholallahu 'alaihi wassalam- menganjurkan kepada kita bahwa Kalaulah memang kita tidak mampu mengerjakan amalan yang paling sempurna, minimal kita telah berusaha untuk sempurna. Setelah itu, beliau menghibur kita dengan sabdanya,

« وَأبْشِرُوا »

Maknanya, “Dan berbahagialah.”

Berbahagialah dengan pahala amal salih yang biarpun sedikit namun berkesinambungan. Dalam penggalan hadits ini tersirat isyarat bahwasanya seseorang yang berusaha mengerjakan amal salih sesempurna mungkin namun belum mampu mencapai tingkatan sempurna, bukan berarti kesempurnaan pahalanya berkurang. Bahkan sebaliknya, mungkin saja melalui usaha kerasnya dalam beramal sesempurna mungkin, dia memperolah pahala sebagaimana layaknya orang yang mencampai kesempurnaan amal. (Tathriz Riyadhu Shalihin)

« وَاسْتَعِينُوا بِالغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ »

“الغَدْوَةِ ” dalam terminologi bahasa Arab bermakna “bepergian di awal siang”. Sedangkan “الرَّوْحَةِ ” bermakna “bepergian di penghujung siang”. Adapun “الدُّلْجَةِ ” maknanya “bepergian di malam hari”. Terjemahan tekstual hadits tersebut adalah, “Manfaatkanlah pagi dan siang hari untuk bepergian sambil sesekali melakukannya di malam hari.”

Namun, itu hanyalah kiasan. Makna sebenarnya sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Ibnu Baz, “Ketika suasana hati terasa baik, manfaatkanlah moment itu untuk meningkatkan amal salih. Dengan kalimat kiasan di atas, Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam- seolah-olah tengah memberi arahan kepada para musafir serta memperingatkan mereka akan momen-momen yang tepat untuk melakukan perjalanan, yaitu di awal dan penghujung siang.

Seorang musafir tentu tidak akan mampu menghabiskan seluruh waktu siang dan malam hari untuk berjalan. Mungkin saja dia mampu melakukannya selama satu atau dua hari, namun setelah itu ia akan berhenti total karena keletihan. Oleh karena itu, Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam- mengingatkan agar mereka memanfaatkan momen-momen ini semaksimal mungkin. Adapun malam hari, terasa sangat berat untuk menempuh perjalanan, oleh karenanya beliau memerintahkan untuk melakukannya sesekali saja. Dengan strategi seperti ini, kontinuitas perjalanan dapat dipertahankan sehingga mereka mencapai tujuan tanpa menghadapi resiko kelelahan dengan yang terlalu tinggi.” (Lihat: Komentar Syaikh Ibnu Baz untuk Fathul Bari)

Ada hal unik dari kalimat kiasan Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam- ini. Beliau mengibaratkan dunia yang kita tempati sebagai sebuah arena menempuh perjalanan menuju akhirat, dan kita semua adalah para musafir yang harus menaklukan arena ini dengan terus menerus beramal salih hingga ajal menyapa. Beliau menasehati kita agar memanfaatkan momen-momen tertentu dimana keimanan kita dalam kondisi prima – yang beliau kiaskan sebagai waktu di awal dan penghujung hari - untuk meningkatkan amal salih, serta memperbaiki kualitasnya, karena di momen-momen inilah ibadah terasa sangat manis dan nikmat.

Adapun pada momen-momen tertentu, saat rasa malas tengah menguasai hati – yang beliau kiaskan sebagai waktu malam – kita disarankan untuk tidak terlalu memaksakan diri dalam memperbanyak ibadah. Sebaliknya, kita disarankan untuk rehat sejenak agar jiwa ini kembali bugar. Ini semua tidak lain agar amal salih yang kita kerjakan berkesinambungan. Maka dari itulah, saat Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam- ditanya tentang amal salih macam apa yang paling Allah ta'ala sukai, beliau menjawab,

« أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ »

Artinya, “Yang paling berkesinambungan, sekalipun hanya sedikit.” (HR. Bukhari)



Kapal dengan kapasitas angkut barang yang tidak terlalu banyak namun konsisten dan terus beroperasi hingga puluhan tahun, tentu lebih dicintai pemiliknya dibanding kapal yang mampu mengangkut muatan di atas standar opersai namun setelah beberapa bulan karam di telan samudra. Pun begitu amal salih. Sedikit namun berkesinambungan lebih bermakna dibandingkan banyak tapi sementara.



Sumber: www.penadakwah.com