Social Icons

Pages

Minggu, 23 Mei 2010

TADWIN AS-SUNNAH

(Oleh : Muhammad Yani Abdul Karim, Lc.)
I.MUQADDIMAH
Kedudukan As-Sunnah sangat tinggi dan agung dalam islam di mana ia merupakan sumber hukum dan syariat islam tertinggi setelah Al Qur'an Al-Karim. Bahkan, sebagai satu di antara dua bagian wahyu ilahi yang diberikan kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- (bagian yang lain adalah Al qu'ran),yang dengannya Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- menganjurkan ummatnya untuk menghafal dan meriwayatkannya(menyampaikannya) sebagaimana yang datang dari beliau,sebagaimana beliau menegaskan agar pengambilan hadits dari beliau shahih (tepat) dan akurat, tanpa tambahan ataupun pengurangan yang pada hakikatnya adalah kedustaan atas Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang pelakunya terancam neraka.


Maka bertitik tolak dari hal tersebut,kita dapat melihat secara gamblang dalam sejarah islam betapa besar dan maksimalnya perhatian (‘inayah) ulama ummat ini terhadap As-Sunnah,menghafalnya,memeliharanya (dengan pengamalan yang prima),mencatat dan membukukannya,melakukan perjalanan(rihlah) yang panjang dan berat di jalan As-sunnah,melakukan pemisahan antara riwayat yang shahih dengan yang lemah atau palsu,melakukan pencatatan nama-nama periwayat hadits dan menjelaskan derajat kapabilitas ‘adalah serta kekuatan hafalan dan pemahaman mereka,dan berbagai macam penilaian positif(ta’dil) maupun negative (jarh) yang berkaitan dengan sanad hadits maupun matannya.

Keberadaan ahlu-hadits ini merupakan salah satu karekteristik pokok dan suatu spesifikasi ummat ini yang membedakan mereka dari ummat-ummat yang lain. Mereka para ahlu-hadits yang telah membuktikan kekuatan potensi ilmiah yang dahsyat dan susah dibandingkan dengan para ahli ilmu lainnya. Dan sesungguhnya ini adalah manifestasi dan pembuktian firman Allah ta’ala dalam Al Quran Al Karim:

إنا نحن نزلنا الذكر وإنا له لحافظون


“ Sesungguhnya Kami yang menurunkan Adz-Dzikr dan sesungguhnya Kami-lah yang menjaganya”.(Al-Hijr:9).

II.MAKNA TADWIN SUNNAH

Secara bahasa, kata Tadwin (التدوين) bermakna (المتشتت في ديوان) artinya : ”mengikat yang terpisah dan mengumpulkan yang terurai (dari tulisan-tulisan)pada suatu diwaan.”
Dan “diwaan” (الديوان) adalah kumpulan kerts-kertas atau kitab (buku) yang biasanya dipakai untuk mencatat keperluan tertentu, misalnya diwaan ahlu jaisy (buku daftar keluarga militer) yang dalam sejarah Islam untuk pertama kalinya dilakukan Umar. ( lihat Kamus Mukhtar Ash Shihaah dan Qamus Al-Muhith serta kamus-kamus Arab lainnya pada materi : (د و ن).

Adapun “tadwin As-Sunnah” (تدوين السنة), maknanya adalah penulisan riwayat-riwayat hadits nabawy pada kumpulan lembaran atau buku (kitab).

Tadwin As-Sunnah adalah merupakan salah satu bentuk inayah yang besar dan khidmat yang agung dari para ulama Ahli Hadits terhadap Sunnah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.

III. KAPAN DIMULAI TADWIN AS-SUNNAH?

Kebanyakan kaum muslimin memahami bahwa dalam kurun waktu lebih dari seratus tahun para ulama saling meriwayatkan dan menerima hadits dengan lisan dan hafalan saja tanpa ditulis dan bahwasanya orang yang pertama kali menulis hadits adalah Imam Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (wafat 124H),atas perintah dari khalifah Ar-Rasyid Umar bin Abdul Aziz.

Dan pemahaman ini semakin bertambah masyhur, kuat dan berlangsung terus sampai sekitar 5 abad, hingga munculnya tokoh ulama hadits yang terkenal Al Khatib Al Baghdadi, yang melalui sebuah studi yang akurat dapat membuktikan bahwa penulisan hadits nabawi telah ada jauh sebelum masanya Imam Az Zuhri, bahkan dalam kitabnya “Taqyidul-‘ilmi” beliau menyatakan bahwa pencatatan hadits telah ada ketika Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- masih hidup dan juga di masa shahabat dan taabi’in.

Telah diriwayatkan dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- melarang pencatatan hadits-haditsnya,sebagaimana diriwayatkan pula bahwa beliau memberikan izin kepada sahabat-sahabatnya untuk mencatat/menulis.

Para ulama Muhaqqiqin menyatakan bahwa riwayat-riwayat yang berisi larangan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam pencatatan hadits beliau,semuanya lemah kecuali hadits Abu Sa’id Al-Khudri –radhiyallahu ‘anhu-,bahwasanya Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, bersabda:
لا تكتبوا عني ومن كتب عني غير القرآن فليمحه

“Jangan kamu menulis dariku (hadits-haditsku) siapa yang menulis darku selain Al Quran maka hendaknya ia menghapusnya”.(Riwayat Imam Muslim;Imam Bukhari menyatakan bahwa riwayat ini mauquf pada Abu Sa’id)

Di antara riwayat-riwayat yang berisi izin Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam pencatatan hadits beliau:
1. Berkata Abdullah bin Amr bin Ash –radhiyallahu ‘anhuma-, “Saya pernah menulis segala apa yang saya dengar dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, saya ingin menghafalkannya,lalu orang-orang Quraisy melarangku seraya berkata, “Engkau menulis segala apa yang engkau dengarkan dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- sedangkan ia manusia biasa yang bisa berbicara dalam keadaan marah dan ridha?” Lalu saya menghentikan menulis, lalu saya sampaikaan itu kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, maka beliau member isyarat dengan jarinya kemulutnya dan berkata,

((اكتب فوالذي نفسي بيده ما خرج منه إلا حق))


“Tulislah! Demi zat yang jiwaku ada ditangan-Nya tidak keluar darinya kecuali yang haq”(Riwayat Imam Ahmad, Ad darimi, Abu Daud, Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil-‘ilm dan Al Khatib dalam At Taqyiid dari banyak jalan)

2. Berkata Abu Hurairah, “Tidak ada seorangpun sahabat yang lebih banyak haditsnya dariku kecuali Abdullah bin Amru bin ‘Ash karena ia menulis sedangkan aku tidak menulis”.(HR.Imam Bukhari).

3. Berkata Abu Hurairah, “Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah berkhutbah pada Fathu Makkah, lalu berdiri seorang dari Yaman yang bernama Abu Syah dan berkata, ”Ya Rasulullah saya minta dituliskan (perkataanmu).Maka Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

((اكتبوا لأبي شاه))

“Tuliskanlah untuk Abu Syah”.(HR.Imam Bukhari, Imam Ahmad dan lain-lain.Imam Abdullah bin Ahmad dan mengatakan tidak ada riwayat yang paling shahih mengenai bolehnya menulis hadits selain hadits ini).

4. Berkata Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- ,”Ketika sakit Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- semakin parah beliau bersabda:

((ايتوني بكتاب أكتب لكم كتابا لا تضلوا بعده)),

“Ambilkan aku kitab!aku akan tuliskan untuk kamu suatu tulisan yang kamu sekalian tidak akan sesat setelahnya”. (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad dan lain-lain)

Masih banyak lagi riwayat-riwayat yang shahih berkenaan dengan dibolehkan (oleh Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-) menulis hadits.Di samping itu ada juga riwayat-riwayat yang lemah, yang sebagiannya dapat naik menjadi hasan.

Bertolak pada penerimaan Ulama terhadap keshahihan hadits Abu Said di atas,maka berarti dua hal yang zhahirnya kontradiktif yang sama-sama diriwayatkan dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.

Bagaimana manhaj ulama muhadditsin dalam memadukan dua macam riwayat di atas?
a. Bahwa larangan menulis hadits itu hanya pada awal Islam,yang mana dikhawatirkan pula bercampurnya hadits dengan Al-Quran. Setelah jumlah kaum muslimin bertambah banyak dan merekapun memiliki pengetahuan yang baik terhadap Al Quran, mampu membedakannya dari hadits-hadits nabawi, maka hilanglah kekhawatiran itu ditambah lagi dengan semakin banyaknya Sunnah Nabawiyah sehingga bila ditulis bisa hilang sebagiannya. Maka, hukum larangan menjadi manshukh dan berubah menjadi kebolehan.(Para Ulama telah menjelaskan dengan hujjah yang kuat bahwa Hadits Abdullah bin Amru dan Hadits Abu Hurairah di atas lebih akhir dari hadits Abu Sa’id).

b. Bahwa adanya larangan menulis hadist itu karena kekhawatiran akan larutnya orang-orang dengan menulis sehingga terlalai dari Al-Quran. Dan di sisi lain adalah dalam rangka menjaga/melestarikan kekuatan hafalan kaum muslimin karena berpatokan terhadap tulisan akan menyebabkan melemahnya hafalan. Maka di sini larangan berlaku untuk sahabat yang tidak diragukan kekuatan hafalannya, adapun yang tidak kuat hafalannya maka Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengizinkannya untuk menulis, misalnya pada kasus Abu Syah.

c. Bahwa larangan berlaku umum, dengan alasan (‘illat) karena dikhawatirkan bercampurnya hadits dan Al Quran,sehingga dengan ‘illat ini dikecualikan orang-orang yang dijamin tidak keliru dalam menulis semisal Abdullah bin Amru bin Ash yang dipercaya oleh Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam urusan ini.

Para Ulama Muhaqqiqin dari Ahlu-hadits menyatakan bahwa ketiga pendapat ini sebetulnya tidak ada pertentangan dan dengan mudah dapat dipadukan satu sama lain.Walhamdulillah.

Dari pembahasan ini dapat disimpulkan bahwa penulisan hadits (tadwinussunnah) telah dimulai di masa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.Tidak sebagaimana yang senantiasa digembar-gemborkan oleh para orientalis dan juga dipahami oleh kebanyakan kaum muslimin bahwa Sunnah belum ditulis kecuali pada masa Imam Az-Zuhri (periode shigharuttaabi’in).

IV.PERIODISASI TADWIN SUNNAH
Sejarah penulisan (kodifikasi) Sunnah telah melalui perjalanan yang panjang dengan melalui beberapa periode sebgai berikut:

1. Periode Abad I H. (sebagian muhadditsin menyebut periode ini dengan marhalah at ta'siis).
Periode ini mencakup masa kehidupan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, masa sahabat sepeninggal beliau dan masa tabi’in.
Usaha dan perjuangan yang dilakukan sahabat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- adalah pondasi awal dalam pencatatan Sunnah serta upaya penghafalan dan periwayatannya/panyampaiannya kepada ummat ini, sebagaimana usaha dan perjuangan mereka adalah pondasi dalam penyebaran din Islam dan pengokohan aqidah dan penjagaan Sunnah dari segala apa saja yang merusaknya.
Di antara upaya-upaya sahabat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam hal Tadwin sunnah adalah sebgai berikut:

a. Motivasi dalam mengahafal dan menguatkan hafalan, bahkan banyak di antara mereka yang menyuruh murid-muridnya untuk menulis dalam rangka menguatkan hafalannya lalu menghapus kembali tulisan itu agar tidak menjadi patokan/sandaran.

b. Menulis Sunnah dan mengirimkannya kepada orang lain.
c. Menganjurkan kepada murid-murid mereka untuk menulis/mencatat hadits.

d. Mencatat dan mengumpulkan hadits dalam diiwaan (lembaran-lembaran).

Setelah masa sahabat datanglah generasi tabi’in yang memawarisi Sunnah. Bahkan, dien ini secara keseluruhan dari sahabat dan mereka tampil dengan mengemban amanah penyampaian risalah kepada seluruh manusia. Mereka telah memaksimalkan usaha mereka dalam rangka ta’zhim dan khidmat terhadap Sunnah dalam berbagai bentuk dan upaya.

Dan di antara usaha besar dan kerja keras mereka khusus untuk tadwin sunnah adalah sebagai berikut:
a. Menganjurkan untuk iltizam kepada Sunnah, menghafal dan menulisnya, serta tatsabbut dalam meriwayatkan dan mendengarkannya.

b. Mencatat Sunnah dalam lembaran-lembaran.
c. Usaha-usaha yang besar dari dua imam kaum muslimin, Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan Ibnu Syihab Az Zuhri,dalam tadwin sunnah.

2.Periode abad II (marhalah at ta'-shil)
Periode ini mencakup dua generasi,yaitu generasi shigar at Tabi’in dan generasi atba’uttabi’in. Dalam periode ini khidmah kepada Sunnah dan ilmu-ilmunya semakin meningkat, upaya penjagaan dari segala hal yang menodai dan mengotorinya makin gencar. Di masa ini mulailah Sunnah dikodifikasikan secara teratur dan tersusun. Bersamaan dengan itu muncul pulalah ilmu rijal, yang cikal-bakalnya telah muncul sejak akhir masa sahabat dan kibar at tabi’in ditandai dengan munculnya pertanyaan tentang isnad. Di tangan generasi inilah awal mula disusunnya kitab-kitab ilmu rijal dan kitab-kitab hadits yang tersusun atas bab-bab dan pasal-pasal.

Beberapa perkembangan tadwin sunnah yang terjadi pada periode ini:
a. Lahirnya metode penulisan hadits yang baru yaitu hadits-hadits disusun teratur bab per-bab (tashnif).
b. Penggabungan ucapan (atsar) sahabat dan fatwa-fatwa tabi’in dengan hadits-hadits nabawi dalam kitb-kitab yang ditulis pada periode ini.Setelah sebelumnya atsar dan fatwa tersebut tidak ditulis.
Periode ini dipandang sebagai masa pengokohan ilmu-ilmu Sunnah, di masa ini hidup tokoh-tokoh besar Sunnah, para imam yang mulia: Malik, Asy-Syafi’i, Sufyan Ats-tsauri, al-Auzai’Ii Syu’bah bin Hajjaj, Ibnu Mubarak, Ibrahim Al Fazari, Ibnu Uyainah, Yahya bin Said al Qaththan, Ibnu Mahdi, Waki’ dan lain-lain.

3.Periode Abad III (Marhalah An-Nudhj)
Periode ini merupakan masa kemajuan ilmu-ilmu keislaman secara umum, dan ilmu-ilmu Sunnah secara khusus.bahkan masa ini dipandang sebagai masa keemasan Sunnah Nabawiyah, yang mana pada masa ini semakin gesit rihlah untuk Tholabil-‘ilm, semakin gencar penulisan kitab dalam ilmu rijal dan semakin luas karya-karya dalam tadwin sunnah. Munculnya Kitab-kitab Masanid, Shihah dan Sunan. Yang diantaranya adalah Al Kutub As Sittah.

Pada periode ini tampil para tokoh-tokoh Huffazh, ahli naqd (kritik hadits) dan ulama-ulama besar seperti: Imam Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuyah, Ali bin Al Madini, Yahya bin Ma’in, Abu Abdillah Al Bukhari, Muslim bin Hajjaj, Abu Zur’ah, Abu Hatim Ar Razi, Utsman bin Sa’id Ad Darimi, Abdullah bin Abdurrahman Ad Darimi, Abu Daud, At Tirmidzi, An Nasaai, Ibnu Majah dan lain-lain. Yang kesemuanya merupakan pelopor ilmu hadits secara umum dan ilmu jarh wa ta’dil secara khusus.

Dari tangan-tangan mereka pula lahir suatu bentuk karya baru dalam tadwin sunnah ,yaitu kitab-kitab aqidah, sebagai upaya membentangi islam dan Sunnah dari golongan ahlu ahwa wal bida’.

4.Periode abad IV (Marhalah al Istikmal)
Periode ini merupakan tahap lanjutan dan penyempurnaan terhadap karya-karya periode sebelumnya.

Pada abad IV H,para ulama umumnya mengikuti manhaj pendahulunya (generasi III). Dalam penulisan sunnah. Di antara mereka ada yang mengikuti manhaj Ash Shahihain dengan mengeluarkan hadits-hadits shahih saja dalam kitab mereka, adapun yang mengikuti manhaj kitab-kitab sunan dengan mengeluarkan hadist-hadits yang berkaitan dengan hukum-hukum dan adab-adab dan adapula yang mengarahkan karyanya pada masalah ikhtilaf al hadits.

Pada periode ini pulalah muncul bentuk baru dalam tadwin sunnah seperti munculnya kitab-kitab mustakhrajat, dan ma’ajim (mu’jam-mu’jam) hadits. Muncul pula pengkodifikasian syarah hadits (fiqhul hadits). Muncul pula pengkodifikasian ilmu mustholah hadits untuk pertama kali dan munculnya karya ulama dalam ilmu ‘ilal al hadits. Dalam ilmu jarh wa ta’dil pun terdapat beberapa kitab-kitab terkenal dan merupakan referensi yang ditulis ulama pada masa ini.

Di antara tokoh dan Imam Sunnah di masa ini adalah Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnu As Sakan, Al Hakim, Ibnul Jarud, ad Daraquthni, Ath Thahawi, Ath Thabarani, Abu Nu’aim Al Ashbahabi, Al Isfirayini dan lain-lain.

5.Periode abad V H (Marhalah at-tahdzib)
Pada abad V H, ulama memunculkan kreasi baru dalam tadwin sunnah, yang mana merupakan perluasan dan pengayaan khazanah haditsiyah.Misalnya:
a.Pengumpulan hadits-hadits dari kitab-kitab yang berbeda, seperti penggabungan hadits-hadits Shahihain, penggabungan hadits-hadits Al Kutub As Sittah, penggabungan hadits-hadits dari kitab-kitab yang berbeda-beda.
b.Munculnya kitab-kitab takhrij
c.Munculnya kitab-kitab maudhu’at.
d.Munculnya kitab-kitab tentang hadits-hadits At Targhif wattarhib.

Di samping adanya karya-karya para ulama yang mengikuti manhaj para ulama sebelumnya seperti kitab-kitab sunan (hadits-hadits ahkam) dan mustakhrajat. Jenis usaha lain yang semakin menguat pada masa ini adalah pensyarahan terhadap hadits-hadits yang terdapat pada kitab-kitab hadits yang ada.

Di antara tokoh-tokoh hadits di masa ini adalah Al Baihaqi, Al Baghawi, Muhammad bin Nashir al Humaidi, Al Khatib Al Baghdadi, Ibnu Abdilbarr dan sebagainya.

6.Periode abad VI dan VII (Marhalah at tamhish)
Pada periode ini ulama menempuh berbagai bentuk pengkhidmatan terhadap Sunnah melalui buah karya mereka, yang umumnya adalah melanjutkan apa yang telah dirintis oleh generasi sebelumnya yang tentunya dengan susunan-susunan yang umumnya lebih baik dari sebelumnya misalnya:
a. Kitab-kitab maudhu’at.
b. Kitab-kitab hadits ahkaam.
c. Kitab-kitab gharibul hadits.
d. Kitab-kitab athraful hadits.

7.Periode abad VIII dan IX (Marhalah al Jam'i wattartib)
Pada periode ini para ulama juga melakukan tadwinus sunnah dalam bentuk inayah dan khidmat kepada kitab-kitab salaf (generasi-generasi awal) dengan mensyarahnya, selain itu mereka juga menyusun biografi (tarjamah) para periwayatnya.
Di samping itu para ulama di periode ini melanjutkan apa yang telah dilakukan oeh generasi sebelumnya dan di antara yang paling nampak adalah munculnya kitab-kitab Takhrij dan kitab-kitab Jawami’.

Pada periode ini pula sebuah kreasi baru muncul dari kalangan Ulama yaitu adalah kitab-kitab Zawaaid.

8.Periode Pasca Abad IX hingga awal abad XIV (Marhalah aljumud)
Pada periode ini gerakan ilmiah dalam alam islami mengalami kemunduran, termasuk dan terutama dalam ilmu-ilmu Sunnah nabawiyah.Namun,hal ini bukan berarti sama sekali tidak ada produksi para ulama hadits hanya saja adanya kreasi-kresai baru menjadi sesuatu yang langka dan hanya peran muhadtstsin tidak lagi sebesar sebagaimana sebelumnya.

Di antara tokoh besar ulama hadits yang hidup di zaman ini adalah Al Imam Jalaluddin As Suyuthi, Al Hafizh As Sakhawi, Al Hafizh Zakariya Al Anshari, Muhammad Al Baiquni, Imam Waliyyullah Ad Dahlawi, Al ‘Ajluni, As Saffaarini, Az Zabidi, Muhammad bin Ali Asy Syukani dan lain-lain.

9.Periode abad XIV hingga sekarang (marhalah an nuhdh wal inbi’ats),
Pada periode ini, khidmatus sunnah mengalami suasana perkembangan baru, dengan adanya peran percetakan, di awali dengan masuknya percetakan ke alam islmai mulai dari Mesir, kemudian Syam, Iraq, Palestina. Libanon, India dan seterusnya. Maka perhatian diarahkan kepada percetakan kitab-kitab agama terutama yang berkaitan dengan Al Quran ,Hadits, dan Fiqh ,mulailah diadakan pengumpulan karya-karya agung para ulama dalam ulum As Sunnah dalam berbagai disiplinnya, termasuk tadwinus sunnah di mana kitab-kitab induk mulai dicetak begitu pula kitab-kitab yang berhubungan dengannya.

Pada pertengahan abad 20 M, gerakan ilmiah ini makin luas dan gencar, terutama setelah kaum muslimin memahami tujuan-tujuan busuk yang terselubung dalam kedok imperialisme Barat yang berupaya memadamkan islam dengan jalan memadamkan Sunnah.

Di antara ulama muhaditsin yang hidup di zaman ini adalah Syamsulhaq Azhim Abadi, Abul ‘Ala Al Mubarakfuri, Ahmad Syakir, Muhammad Nashiruddin Al Albani dan lain-lain.

V. MENGENAL KITAB-KITAB HADITS YANG TERKENAL:
1. Dari abad II :
Al Muwaththa (Imam Malik bin Anas), Al Mushannaf (Abdurrazzaq Ash Shan’ani), Al Mushannaf (Ibnu Abi Syaibah).
2. Dari abad III :
a. Kitab-kitab masanid (musnad-musnad) : Musnad Abu Daud Ath Thayalisi, Musnad Imam Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Amru Al Bazzar, Musnad Abu Ya’la Al Maushili, Musnad Al Humaidi, Musnad Ibnu Rahuyah dan sebagainya.
b. Kitab-kitab shihah : Shahih Imam Bukhari dan Shahih Imam Muslim.
c. Kitab-kitab sunan : Sunan Abi Daud, Sunan (Jami’) At Tirmidzi, Sunan An Nasa’i, Sunan Ibnu Majah dan Sunan Ad Darimi.
d. Kitab-kitab hadits yang berkaitan dengan aqidah : As Sunnah (Imam Ahmad), As Sunnah (Abdullah bin Ahmad), As Sunnah (Abu Nashr Al Marwazi), Ar Raddu ‘alal Jahmiyah (Imam Ahmad), Al Raddu ‘ala Bisyr Al Marisi Al Mu’tazili (Imam Ad Darimi), Khalqu Af’aalil ‘Ibad (Imam Bukhari) dan sebagainya.

3. Dari abad IV :
a. Kitab-kitab Shihah : Shahih Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Sakan, Mustadrak Al Hakim.
b. Kitab-kitab Sunan : Muntaqa Ibnul Jarud, Sunan Ad Daraquthni.
c. Kitab-kitab yang berkaitan dengan ilmu mukhtalafil-hadits : Syarh musykil al-aatsar (Ath Thahawi).
d. Kitab-kitab Mustakhrajat : Mustakhrajat Abu Bakar Al Isma’ili (tehadap Shahih Bukhari), Mustakhrajat Abu ‘Awanah Al Isfarayini (atas Shahih Muslim).
e. Kitab-kitab Ma’ajim : Al Mu’jam Al Kabir, Al Mu’jam Al Ausath, Al Mu’jam Ash Shagir (ketiganya oleh Imam Ath Thabarani).
f. Kitab-kitab syarah hadits : Tahdzibul aatsar (Ibnu Jarir Ath Thabari), Syarhu Ma’anil Aatsaar (Ath Thahawi), Syarhu Shahihil Bukhari dan Ma’alim as sunan (keduanya oleh Al Khaththabi).
4. Dari abad V :
a. Kitab-kitab Sunan : Sunan Al Kubra (Al Baihaqi).
b. Kitab-kitab yang mneggabungkan Kitab-kitab hadits sebelumnya:
- yang menggabungkan shahihain: Al Jam’u baina Ash Shahihain (masing-masing ditulis oleh Ibnu Nashr Al Humaidi, Abu Bakar Al Barqani dan lain-lain).
- yang menggabungkan al Kutub as Sittah : At Tajrid lish-shihaah wassunan ( Al Hafizh As Sarqasti), Jaami’ al- ushuul (Ibnu Atsir Al Jazari).
- yang menggabungkan hadits-hadits dari kitab-kitab yang berbeda: Bahrul asaaniid fi shahihil masaaniid (Al Hafizh Abu Muhammad As Samarqandi), Mashaabihus-sunnah (Imam Al Baihaqi).
c. Kitab-kitab maudhu’at : kitab Tadzkir Al Maudhu’at (Abul Fadhl Muhammad bin Thahir ibnu Qaisaraani).
d. Kitab-kitab yang berkaitan dengan at targhib wattarhib : Kitab At Targhib wat Tarhib, Kitab ad Da’waat Al kabir (keduanya oleh Imam Al Baihaqi).
e. Kitab-kitab mustakhrajat : Mustakhraj Al Hafizh ibnu Marduyah (atas Shahih Bukhari), Mustakhraj Abu Nu’aim Al Ashbahani (terhadap Shahihain) dan lain-lain.
f. Kitab-kitab syarah hadits : At Tamhid (Ibnu Abdilbarr), Syarhus-Sunnah (Al Baghawi), Al Muntaqa –syarah Al- Muwaththa- (Abul Walid Al Baaji).
5. Dari abad VI dan VII :
a. Kitab-kitab maudhu’at : Al Abaathil wa Manakir (Al Husain Al Jauzaqani), Al Maudhu’at (Al hafizh Abul Faraj Ibnu Al Jauzi).
b. Kitab-kitab Ahkam : ‘Umdatul Ahkam (Abdulghani Al Maqdisi), Al Ahkam Al Kubra (Majduddin Abdussalam Ibnu Taimiyah), Al Ilmaam fi bayani Adilatil-ahkaam (Al izz abdissalam), Al Ilmaam fi Ahaadits-Ahkam (Ibnu Daqiq Al-Ied).
c. Kitab-kitab gharibul hadits : Gharibul hadits (Ibnul jauzi), An Nihayah fi Gharibil-hadits (Ibnu atsir Al Jazari).
d. Kitab-kitab athraaful hadits: Al Isyraaf ‘ala ma'rifatil Athraaf (Ibnu Asakir).
e. Kitab syarah hadits : Syarh Shahih Muslim (Ibnu Sholah), Al Minhaj fi Syarhi shahih Muslim Ibnil-Hajjaj (An Nawawi).
f. Kitab-kitab berkaitan dengan At Targhib wattarhib : At Targhib wattarhib (Al Mundziri), Riyaadhush Shalihin (An Nawawi).
6. Dari abad VIII dan XI
a. Kitab-kitab syarah hadits: Fathul Baari (Al hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani).
b. Kitab-kitab takhrij : Nashbur Raayah li ahaaditsil hidaayah (Az Zaila’i), At Talkhish Al Habir (Al hafizh Ibnu hajar).
c. Kitab-kitab Jawaami’ : Jaami’ul masaanid (Ibnu Katsir).
d. Kitab-kitab Zawaaid : Kasyful Aatsaar ‘an Zawaa-id al Bazzar, Majma’uz- Zawaid wa Manba’ul-fawaaid, Mawariduzh zham’an ilaa Zawaa’id Ibnu Hibban dan sebagainya (Al Haitsami), Al Mathaalib al Aliyah fi Zawaa-id al Masaanid ats Tsamaniyah(Ibnu Hajar), Ithaaful Khiyarah al Maharah bizawaa-id Masaanis al ‘Asyarah (Al Buushiri) dan lain-lain.
e. Kitab-kitab Athraaf : Tuhfatul asyraaf bima’rifatil athraaf karya Al Hafizh Al Mizzi.
f. Kitab-kitab Ahkam: Al Muharrar fi ahadits-Ahkam (muhammad bin Ahmad Al Maqdisi), BulughurlMaram (Ibnu Hajar), Tharhut Tastrib fi Syarhit-Taqrib (Al-Iraq).
g. Kitab-kitab maudhu’at: Ahaaditsul-Qushshaash (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah).

7. Dari abad IX hingga abad XIV:
a. Yang berkaitan dengan syarah hadits : Syarh Sunan An Nasaai (As Suyuthi), Mishbahuz-Zujajah Syarah Sunan Ibnu Majah (As Suyuthi), Nailul Authar Syarhu Muntaqa akhbar (Asy-Syaukani),Subulussalam Syarh Bulughul Maram (Ash Shan’ani), Al Faidhul Qadir (Al Munawi) dan sebagainya.
b. Yang berkaitan dengan Jawami’: Jam’ul Jawami’ dan Al Jami’ As Shagir (As Suyuthi), Kanzul ‘Ummaal (Alauddin Qadhi Khan Al Hindi).
c. Yang berkaitan dengan maudhu’at: Al La-ali Al Mashnu’ah (As Suyuthi), Al Fawaaid Al Majmu’ah (Asy Syaukani), Tanzih Asy Syari’ah Al Marfu’ah (Ibnu Arraq Al Kinani), Al Asrar al Marfu’ah ‘anil Ahadits al Maudhu’ah (Mula Ali Al Qari).
8. Dari abad XIV hingga kini.
a. Yang berkaitan dengan syarah hadits : ‘Aunul Ma’bud syarhu Sunan Abi Daud (Syamsul Haq Azhim Abadi), Tuhfatul Ahwadzi syarah Jami’ At Tirmidzi (Al Mubarakfuri) dan lain-lain.
b. Yang berkaitan dengan takhrij hadits : Irwaa-ul Ghalil fi Takhrij Ahadits Manaarissabiil (Al Albani).
وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
Referensi:

1. Tadwin As Sunnah, Syaikhuna Prof Dr. Muhammad bin Mathar Az Zahrani.
2. As Sunnah qabla At-Tadwin, Dr. Muhammad Ajaj Al Khatib.
3. Buhuts fi tarikh As Sunnah Al Musyarrafah, Dr. Akram Dhiya Al Umari.
4. Al Wadh’u fil hadits, Dr. Umar bin Hasan Fallatah.
5. Ar Risalah Al Mustatharafah, Al Imam As Sayyid Muhammad bin Ja’far Al Kattani.
6. Tathawwur Diraasaat As Sunnah An Nabawiyah, Dr. Faruq Hamadah.
7. Bahtsun fi Tadwin As Sunnah An Nabawiyah Fi Al Qarnil Khamis Al Hijri,penulis.
(Sumber:markazassunnah.blogspot.com)

Rabu, 05 Mei 2010

Ketika Kuburan Diagungkan

Kuburan-kuburan yang dianggap keramat saat ini telah menjadi salah satu tempat yang paling banyak dikunjungi. Mereka datang dengan berbagai hajat dan tujuan, umumnya mencari berkah dan berdoa kepada penghuni kuburan tersebut.


Bentuk-bentuk pengagungan kepada kuburan
a. Membuat bangunan di atasnya
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melarang umatnya untuk membuat bangunan di atas kuburan. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan untuk meratakannya. Dalam riwayat al-Imam Muslim—rahimahullah—dari Abu Hayyaj al-Asadi—rahimahullah, ia berkata, “Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu ‘Anhu berkata kepadaku,

أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ
“Maukah engkau aku utus kepada sesuatu yang Rasulullah telah mengutusku padanya? Jangan Kamu biarkan patung kecuali kamu hancurkan, dan kuburan yang menonjol lebih tinggi melainkan kamu ratakan.”

b. Berdoa kepada Penghuni Kubur
Doa adalah ibadah, sebagaimana telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam sabda beliau, dari shahabat Abu Abdullah an-Nu’man bin Basyir Radhiyallahu ‘Anhu,

الدُّعاَءُ هُوَ الْعِباَدَةُ
“Doa adalah ibadah.” (HR. Tirmidzi)

Karena doa adalah ibadah, maka harus memenuhi dua persyaratan:
Pertama: Mempersembahkan doa tersebut hanya bagi Allah Subhaanahu Wata’ala.
Kedua: Sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Apakah berdoa di kuburan telah memenuhi kedua syarat itu? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus mengetahui bentuk-bentuk doa di kuburan.

Berdoa Kepada Allah Subhaanahu Wata’ala di Kuburan
Berdoa kepada Allah Subhaanahu Wata’ala di kuburan merupakan perbuatan yang banyak dilakukan oleh para pengagung kuburan. Hal ini mereka lakukan disertai keyakinan tertentu, seperti bahwa tempat tersebut memiliki berkah, terlebih jika itu adalah kuburan para nabi dan wali. Dan berkeyakinan akan mendatangkan kekhusyukan dan lebih cepat untuk dikabulkan. Kepercayaan-kepercayaan seperti ini telah mengundang banyak kaum muslimin untuk berdoa di sisi kuburan.

Tentu, perbuatan ini adalah bid’ah karena mengkhususkan tempat peribadatan yang tidak pernah ditentukan oleh syariat. Begitu juga para shahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tidak pernah melakukan hal demikian di sisi kubur imam para nabi dan rasul, yaitu kuburan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim)

Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman:
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian dan telah Aku cukupkan atas kalian nikmat-Ku, dan Aku ridha Islam sebagai agama bagi kalian.” (QS. al Maidah: 3).

Al-Imam Malik—rahimahullah—menyatakan, “Barangsiapa yang mengada-ada di dalam Islam sebuah kebid’ahan dan dia menganggap hal itu sebagai sebuah kebaikan maka sungguh dia telah menuduh bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah berkhianat dalam menyampaikan risalah.

Karena Allah Subhaanahu Wata’ala mengatakan, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian,” maka segala sesuatu yang di masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bukan bagian dari agama, maka pada hari ini juga bukan sebagai agama.”

Berbeda dengan berdoa untuk orang yang meninggal, maka perbuatan ini ada tuntunannya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Berdoa Kepada Allah Subhaanahu Wata’ala dengan Perantara Penghuni Kuburan
Hal ini dinamakan tawassul. Tawassul adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan segala apa yang dicintai dan diridhai-Nya. Para ulama telah membagi tawassul dalam dua bentuk dan kedua bentuk tersebut memiliki bagian-bagian yang banyak.
Pertama: Tawassul yang disyariatkan.
Kedua: Tawassul yang tidak disyariatkan.

Tawassul yang disyariatkan jelas nash-nash di dalam Al-Quran seperti firman Allah Subhaanahu Wata’ala, artinya,
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya dan berjihadlah pada jalan-Nya supaya kamu mendapatkan keberuntungan.” (QS. al-Maidah: 35).

Lalu bertawassul dengan orang yang meninggal termasuk dalam bagian yang mana?
Untuk menjawab pertanyaan ini harus ditinjau dari beberapa sisi.

Pertama: Segala akibat ada sebabnya. Yang menciptakan dan menentukan sebab akibat adalah Allah Subhaanahu Wata’ala. Menjadikan suatu sebab yang tidak dijadikan sebab oleh Allah Subhaanahu Wata’ala di dalam syariat termasuk syirik kecil. Menjadikan orang yang sudah meninggal sebagai sebab dan perantara yang akan menyampaikan kepada Allah Subhaanahu Wata'ala termasuk di dalam bab ini. Berdasarkan sisi ini berarti perbuatan tawassul dengan orang yang telah mati termasuk dari syirik kecil.

Kedua: Jika perbuatan ini benar, niscaya tidak akan diabaikan oleh para shahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada kuburan imam para rasul yaitu Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Mereka tentu akan berlomba-lomba untuk melakukannya, dan tentu akan teriwayatkan dari mereka setelah itu. Berdasarkan sisi ini, jelas bahwa perbuatan ini diada-adakan dalam agama, termasuk perkara baru dan merupakan satu kebid’ahan.

Berdoa Kepada Penghuni Kuburan
Perbuatan ini termasuk dari syirik besar kepada Allah Subhaanahu Wata’ala dan pelakunya mendapat ancaman yang pedih dari Allah Subhaanahu Wata’ala. Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman, artinya,
“Dan bahwa masjid-masjid itu milik Allah maka janganlah kalian berdoa kepada seorang pun bersama Allah.”

Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di—rahimahullah—berkata ketika menerangkan ayat ini, “Tidak doa ibadah atau pun doa masalah, karena masjid-masjid yang merupakan tempat yang paling mulia untuk beribadah harus dibangun di atas keikhlasan kepada Allah Subhaanahu Wata’ala. Ketundukan kepada keagungan-Nya dan tenteram dengan kemuliaan-Nya.”

Di antara ancaman-ancaman yang pedih itu ialah firman Allah Subhaanahu Wata’ala,
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. an-Nisa: 48).

“Dan jika mereka menyekutukan Allah niscaya akan terlepas dari mereka apa-apa yang mereka telah kerjakan.” (QS. al-An’am: 88).

Rasulullah Subhaanahu Wata’ala bersabda,“Barangsiapa berjumpa dengan Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, dia akan masuk ke dalam surga, dan barangsiapa berjumpa dengan-Nya dalam keadaan menyekutukan Allah, dia masuk ke dalam neraka.” (HR. Muslim)

c. Ziarah Kubur
Apakah ziarah kubur dianjurkan secara mutlak atau dilarang secara mutlak?
Jawabnya: Hukum ziarah kubur dibagi oleh para ulama menjadi tiga bentuk:
1. Ziarah yang disyariatkan
Ziarah yang disyariatkan oleh Islam dan terpenuhi tiga syarat padanya:

Pertama: Tidak mengadakan safar untuk berziarah. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Jangan kalian bepergian kecuali kepada tiga masjid: masjidku ini Masjid Al-Haram dan Masjid Al-Aqsha.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kedua: Tidak mengucapkan kalimat-kalimat batil. Ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Dulu kami telah melarang kalian menziarahi kubur. Barangsiapa ingin menziarahi kubur lakukanlah dan jangan mengucapkan hajran.” (HR. Ahmad)

Al Hajr adalah ucapan keji.Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Wushabi mengatakan, “Lihatlah—semoga Allah merahmatimu—bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melarang dari kalimat-kalimat yang keji dan batil ketika berziarah ke kuburan. Lalu apakah ada ucapan yang lebih besar kekejian dan kebatilannya daripada menyeru kepada orang-orang yang telah mati dan meminta tolong dibebaskan dari malapetaka kepada selain Allah?”

Ketiga: Tidak dikhususkan dengan waktu-waktu tertentu karena tidak ada dalil pengkhususan yang demikian itu.

2. Ziarah Bid’ah
Ziarah yang tidak ada salah satu dari syarat-syarat di atas.

3. Ziarah Syirik
Ziarah yang menjatuhkan pelakunya ke dalam kesyirikan, seperti berdoa kepada penghuni kubur, menyembelih, bernadzar, dan meminta pertolongan dan perlindungan, dan sebagainya.

Dari pembagian ketiga jenis ini bisa kita ukur dan nilai, termasuk kategori mana ziarah yang dilakukan mayoritas muslimin di makam-makam terkenal di seluruh pelosok tanah air ini.
Ziarah ini telah menjadi rutinitas kalangan tertentu meski dengan hajat yang berbeda. Sehingga tidak ada satu kuburan pun yang terkenal dan memiliki nilai sejarah dalam kehidupan nenek moyang kecuali tiap waktu dibanjiri oleh para peziarah. Seakan-akan ia telah menjadi Baitullah Al-Haram di tanah suci Makkah.

Ini adalah sebagian kecil dari bentuk pengagungan terhadap kuburan. Semoga Allah Subhaanahu Wata'ala memelihara kita dari penyembahan kepada selain-Nya.
Wallahu Waliyyut Taufiq (Al Fikrah No. 11 Tahun XI/8 Jumadil Ula 1431 H)
www,wahdah.co.id

Senin, 03 Mei 2010

TRAGEDI MUT’AH DI BULAN KARTINI

Haedar Bazargan


Bulan April merupakan bulan yang spesial bagi sebagian wanita Indonesia. Pada setiap tanggal 21 April wanita negeri ini mengenang perjuangan RA. Kartini. Tokoh Kartini dijadikan simbol perjuangan untuk mendapatkan hak-hak dan martabat yang seharusnya bagi perempuan.



Dengan kesadaran Kartini, kita diharapkan menghormati ibu, saudari, dan segenap perempuan. Bahwa mereka, seperti halnya laki-laki, memiliki hak yang wajib diberikan. Akses terhadap pendidikan, kesehatan, sumber daya ekonomi, hak politik dan lain sebagainya tidak mengenal pembedaan jender. Selama hal itu tidak menyalahi ajaran agama dan kodrat alamiah masing-masing jenis kelamin.

Namun, apa lacur. Bulan yang diharapkan menjadi momentum untuk lebih menghargai peran perempuan dan memberdayakan wanita menjadi keruh oleh upaya memasarkan sebuah doktrin pelecehan wanita yang, naifnya, disematkan kepada ajaran agama/sekte tertentu.

HABIS MANIS SEPAH DIBUANG!
Adalah mut’ah, praktek yang sangat merendahkan martabat wanita. Mut’ah adalah proses “pernikahan” yang hanya melibatkan seorang laki-laki dan korbannya: perempuan. Sang lelaki cukup menyerahkan “ajr” (upah!) tertentu kepada perempuan agar yang kedua menyerahkan mahkotanya. Nominal ajr akan ditentukan oleh lama kontrak yang diinginkan lelaki. Sebab, “pernikahan” ini memang sangat tidak lazim. Ada batas waktu dimana setelah itu, perempuan akan dicampakkan begitu saja.

Jelas terlihat betapa posisi perempuan sangat terpojok. Bila si lelaki hidung belang lihai dalam proses tawar-menawar, perempuan akan semakin tertindas. Secara licik, ia dapat saja mengontrol harga, terutama jika si perempuan dalam posisi lemah.

Maklum, dalam mut’ah tak ada orang ketiga yang boleh terlibat. Tidak ada wali yang dapat membela hak perempuan, sebagaimana lazimnya pernikahan normal.

Tidak sampai di situ diskriminasi terhadap perempuan terjadi. Bila si perempuan ternyata hamil hingga melahirkan anak, ia tak akan mendapatkan jaminan apa-apa. Ia tidak berhak memperoleh nafkah untuk dirinya dan janin itu. Justru ketika perempuan hamil itu seharusnya mendapatkan perhatian dan perawatan yang layak.

Hatta setelah anak itu kelak lahir dan dibesarkan, si laki-laki akan tetap bebas dan tidak dibebani apapun. Ia tidak wajib memberi nafkah kepada anak itu dan ibunya. Toh, ajr sudah lunas di muka! Akibatnya, perempuanlah yang harus menanggung semuanya.

Penelantaran terhadap nasib si perempuan berlanjut sampai laki-laki meninggal. Walau terbukti bahwa seorang perempuan pernah dinikahi mut’ah, ia tidak dapat menuntut warisan terhadap harta dari laki-laki yang pernah menikahinya. Vonis ini berlaku pula bagi si anak yang notabene anak sah secara biologis dari si laki-laki.

DALIH AGAMA DI BALIK DISKRIMINASI WANITA
Yang lebih memiriskan hati, praktek ini biasa dipromosikan oleh orang-orang yang berlabel tokoh agama. Akibatnya, mut’ah tidak jarang dicoba untuk dikait-kaitkan dengan ajaran agama. Sangat jelas tampak sikap superioritas dan bias kecenderungan nafsu laki-laki di dalamnya.

Tanpa rasa bersalah dan dengan berlagak sok suci, kelompok laki-laki itu kerap mengutip ungkapan-ungkapan yang mereka sangka bisa menutupi topeng keserakahan mereka.

Tentu tidak termasuk di dalamnya tokoh-tokoh agama yang tulus. Yang berani menyatakan kebenaran, walaupun itu berarti menentang sebuah tradisi yang mungkin terlanjur melembaga.

Sayid Husain al-Musawi, adalah salah satu contohnya. Ia deserse dari sekte Syi’ah, agama yang sangat getol memasarkan mut’ah kepada generasi muda demi misi penyebaran ideologi Syi’ah.

Al-Musawi yang lahir di Irak dan belajar di Najaf menuliskan kesaksiannya tentang tokoh-tokoh agama Syi’ah di Najaf. Mereka, kata al-Musawi, melakukan mut’ah setiap hari dengan banyak wanita. Semua itu dapat mereka lakukan dengan dalih ajaran agama.

Potensi pelecehan terhadap perempuan tidak terbatas kepada yang sudah dewasa. Anak perempuan yang masih balita pun dapat direnggut dengan doktrin mut’ah.

Al-Musawi, mantan murid senior Khomeini, menceritakan pengalamannya lebih lanjut. Ia pernah melakukan perjalanan bersama Khomeini, gurunya, yang melewati kota Baghdad. Mereka kemudian singgah bermalam di rumah seorang asli Iran bernama Sayid Syahib.

Berikut ini, kesaksian al-Musawi lebih lanjut:
“Ketika tiba saatnya untuk tidur dan orang-orang yang hadir sudah pada pulang kecuali tuan rumah, Imam Khomeini melihat anak perempuan yang masih kecil, umurnya sekitar empat atau lima tahun, tetapi dia sangat cantik. Imam meminta kepada bapaknya, yaitu Sayid Syahib untuk menghadirkan anak itu kepadanya agar dia melakukan mut’ah dengannya. Maka si bapak menyetujuinya dan dia merasa sangat senang. Lalu Imam Khomeini tidur dan anak perempuan ada di pelukannya, sedangkan kami mendengar tangisan dan teriakannya!”

LAWAN EKSPLOITASI WANITA
Dengan asas tunggal Syi’ahnya, Iran menjadi pusat mut’ah dunia. Negeri yang giat mempromosikan revolusinya ke seluruh dunia ini memang merupakan surga bagi pelaku mut’ah. Mut’ah yang dipromosikan secara terbuka memang memancing setiap laki-laki hidung belang yang merindukan kenikmatan sesaat yang tidak terikat tanggung jawab dan legal secara hukum. Cukup dengan modal ajr, ia dapat menikmati siapapun perempuan yang dia inginkan.

Tapi, bukan berarti topeng agama dan hukum yang diskriminatif itu menyelesaikan masalah. Iran harus menghadapi akibatnya sendiri. Di tahun 1994, Republika (26/7) melaporkan sekitar 5000 orang yang tercatat sebagai penderita AIDS di Iran. Dari jumlah itu, hampir seratusan orang yang telah melayang nyawanya. Yang lebih memilukan lagi, laporan majalah as-Shira’ yang terbit di Teluk. Majalah itu menambahkan laporan adanya 250 ribu anak yang terlantar tanpa bapak. Di negara yang sangat tertutup seperti Iran, jumlah itu baru laporan resmi yang terekspos. Selalu ada laporan tidak resmi dengan penghitungan yang sering lebih drastis.

Eksploitasi tanpa batas dan ajaran yang merendahkan martabat perempuan itu akhirnya mendapatkan perlawanan. Kendati banyak dibungkam dengan fatwa-fatwa dari kelompok agamawan yang konservatif. Apalagi didukung payung konstitusi yang melindungi status quo.

Adalah Fatimah Karroubi, pejuang hak-hak wanita yang merupakan putri politikus Mahdi Karroubi yang beraliran modernis. Ia menjadi salah satu wanita Iran yang aktif melakukan pencerahan dan mobilisasi politik menentang mut’ah yang dibungkus paham agama itu.

Seorang perempuan intelektual dan penulis produktif lain, Dr. Syahla Ha’iri, secara berani juga menerbitkan laporan yang menghentak dunia. Ia melakukan wawancara panjang dan berbagai survey langsung di Iran, terutama terhadap para korban. Ia juga melakukan analisis mendalam terhadap dalih-dalih agamawan pro-mut’ah yang memang semua laki-laki.

Realitas praktek mut’ah di Iran dari tahun 1978-1982 itulah yang Ha’iri suarakan ke seluruh perempuan dunia. Judul bukunya: al-Mut’ah: az-Zawaj al-Mu’aqqat ‘indas Syi’ah (Mut’ah: Kawin Tempo versi Syi’ah). Pesannya jelas: agar perempuan tak perlu lagi terlena oleh doktrin agamawan palsu yang dengan dalih agama melecehkan harkat dan martabat wanita.

Andai RA. Kartini hadir menyaksikan bagaimana mut’ah dewasa ini dijual kepada kaum wanita Indonesia, tentu ia pun akan melawan. Sebab, cita-cita luhur Kartini adalah mengeluarkan perempuan Indonesia “minaz zhulumat ilan nuur” (door duisternis tot licht/dari gelap kepada cahaya:)